kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sekjen PBB Sebut Pelanggaran Hak di Korut Meningkat, Minta Dewan Keamanan Bertindak


Jumat, 02 September 2022 / 14:12 WIB
Sekjen PBB Sebut Pelanggaran Hak di Korut Meningkat, Minta Dewan Keamanan Bertindak
ILUSTRASI. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.


Sumber: AP News | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres pada Kamis (1/9) menyampaikan, saat ini angka pelanggaran hak dan kebebasan rakyat di Korea Utara telah meningkat. Guterres pun meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk segera bertindak.

"Penting bagi komunitas internasional untuk menanggapi situasi hak asasi manusia di DPRK (Korea Utara), termasuk mendukung akuntabilitas jika kejahatan terhadap kemanusiaan ditemukan," ungkap Guterres dalam laporan terbaru PBB, seperti dikutip AP News.

Guterres bahkan meminta DK PBB untuk segera bertindak sendiri atau atas rekomendasi Majelis Umum untuk membahas situasi ini ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

ICC sendiri pada dasarnya didirikan untuk meminta pertanggungjawaban atas tindakan kriminal terkejam di dunia, termasuk kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.

Baca Juga: PBB Akhirnya Mengakui Ada Pelanggaran HAM Serius di Xinjiang

Laporan setebal 18 halaman yang diedarkan PBB mencatat segala situasi dalam periode Agustus 2021 hingga Juli 2022. Terkait Korea Utara, PBB menemukan penindasan terhadap hak asasi manusia di Korea Utara telah meningkat selama pembatasan aktivitas terkait Covid-19.

Guterres menilai kebijakan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang menutup perbatasan negara hingga membatasi interaksi sosial telah memungkinkan pemerintah untuk lebih menekan arus informasi dan gagasan di antara rakyatnya.

"Kondisi ini mengembangkan sistem politik negara yang represif, yang menggunakan pengawasan, paksaan, ketakutan, dan hukuman untuk menekan kehendak rakyat, memecah belah mereka, menabur ketidakpercayaan, serta menghambat munculnya keinginan kolektif atau budaya asli yang tumbuh di dalam negeri," lanjut Guterres.

Laporan ini juga menyoroti Undang-Undang Penolakan Pemikiran dan Budaya Reaksioner yang diberlakukan Korea Utara pada tahun 2020.

Baca Juga: Korea Selatan Siap Memberi Respons Keras Jika Korea Utara Melakukan Uji Coba Nuklir

Lewat undang-undang itu, negara berhak menghukum siapa pun yang ditemukan memiliki atau mendistribusikan sejumlah besar materi media dari Korea Selatan dengan hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati.

"Penghilangan paksa ke kamp penjara politik terus melambangkan sistem pemerintahan yang menundukkan dan mengontrol daripada mewakili rakyat," kata Guterres.

Seorang warga dilaporkan telah dieksekusi di depan umum pada April 2021 setelah ia diketahui menjual perangkat penyimpanan USB dan CD yang berisi film, musik, dan siaran dari Korea Selatan.

Sejumlah warga yang berhasil melarikan diri dari Korea Utara mengungkapkan, mereka bisa dikirim ke kamp penjara politik karena mengekspresikan pandangan atau mengkritik pemerintah.

Mereka menyebut banyak aturan negara yang telah secara langsung melanggar hak asasi manusia, mulai dari membatasi akses ke pendidikan tinggi, perumahan, makanan, pekerjaan, pekerjaan, partisipasi dalam urusan publik, pernikahan dan kehidupan keluarga, serta tempat tinggal.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×