Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JERUSALEM. Bagi Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, konfrontasi dengan Iran dan sekutunya menawarkan peluang untuk memulihkan citra politiknya di dalam negeri, meski ada risiko terjadinya perang regional.
Setahun setelah serangan 7 Oktober yang menghancurkan reputasinya sebagai pemimpin keamanan, Netanyahu berusaha bangkit.
Banyak warga Israel yang sempat terpuruk akibat kegagalan keamanan dalam serangan mematikan kelompok militan Hamas, kini mulai pulih kepercayaan pada militer dan intelijen mereka setelah serangkaian serangan terhadap kelompok Hizbullah yang didukung Iran di Lebanon.
Baca Juga: Netanyahu Peringatkan Iran, Tak Ada Tempat di Timur Tengah yang Tak Terjangkau Israel
Kematian Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah dan sekutu utama Hamas, dalam serangan Israel di Beirut pada 27 September disambut dengan gembira oleh negara yang masih trauma akibat serangan 7 Oktober dan perang setahun di Gaza yang memperburuk citra Israel di dunia internasional.
Meski serangan rudal Iran minggu lalu memaksa warga Israel berlindung di bunker, keberhasilan Israel dalam mencegat sebagian besar rudal tersebut dengan bantuan sekutu Barat meningkatkan rasa percaya diri bangsa. Namun, tewasnya sedikitnya sembilan tentara Israel sejak operasi darat dimulai pada 1 Oktober menjadi pengingat bahaya yang masih mengintai.
Netanyahu, yang menyebut kematian Nasrallah sebagai "titik balik", mengingatkan bahwa perang belum berakhir. Ia menyatakan, “Iran telah melakukan kesalahan besar malam ini, dan mereka akan membayarnya.”
Baca Juga: Israel Memperingati Satu Tahun Serangan Hamas pada 7 Oktober
Menurut survei Universitas Ibrani di Yerusalem, sekitar 80% warga Israel menilai kampanye di Lebanon telah memenuhi atau melebihi harapan. Namun, ada ketidakpuasan terhadap kampanye di Gaza, dengan 70% mendukung gencatan senjata untuk memulangkan sandera Israel.
Penyintas Politik
Sebagai mantan anggota unit pasukan khusus yang terkenal dalam operasi penyelamatan sandera pada 1970-an, Netanyahu telah mendominasi politik Israel selama beberapa dekade, bahkan menjadi perdana menteri terlama ketika memenangkan masa jabatan keenam pada 2022.
Koalisinya dengan partai-partai sayap kanan nasional-religius menjadi kunci kemenangannya. Namun, ia juga menghadapi protes besar-besaran atas upaya membatasi kekuasaan Mahkamah Agung dan tuduhan korupsi yang ia bantah.
Baca Juga: Presiden Prancis Serukan Setop Pengiriman Senjata ke Israel untuk Pertempuran Gaza
Sejak perang dimulai, protes terkait perubahan peradilan bergeser menjadi tuntutan agar pemerintah segera membebaskan sandera yang ditangkap Hamas pada 7 Oktober.
Netanyahu menegaskan bahwa hanya tekanan militer yang terus-menerus yang dapat memulangkan sandera, dan ia berjanji akan melanjutkan perang hingga Hamas hancur sebagai kekuatan militer dan pemerintahan di Gaza.
Meski Netanyahu belum mengakui tanggung jawab pribadi atas serangan 7 Oktober, ia menyatakan bahwa pertanyaan sulit akan dijawab setelah perang usai, dan menolak seruan untuk mengundurkan diri atau menggelar pemilu dini.
Di luar negeri, Netanyahu menjadi target protes akibat kampanye militer Israel yang menghancurkan Gaza dan menewaskan hampir 42.000 warga Palestina. Pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat, mengkritik kampanye ini dan khawatir atas meluasnya konflik ke Lebanon.
Pengadilan Kriminal Internasional sedang mempertimbangkan permintaan penangkapan Netanyahu atas dugaan kejahatan perang di Gaza.
Baca Juga: Iran Tegaskan Dukung Terus Gerakan Pembebasan Palestina dari Zionis Israel
Di dalam negeri, meski kontroversi terus membayangi, Netanyahu masih mendapat dukungan dari basis pendukungnya yang berhaluan kanan. Ia menyebut langkah ICC sebagai "absurd" dan menganggapnya sebagai serangan terhadap seluruh Israel dan antisemitisme.
Musuh Abadi
Sebelum Israel meningkatkan kampanye militernya terhadap Hizbullah bulan lalu, popularitas Netanyahu di dalam negeri telah mulai pulih selama setahun perang melawan Hamas, kelompok yang dianggap musuh abadi oleh sebagian besar warga Israel.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa partainya, Likud, kembali menjadi yang terkuat di Israel.
Netanyahu juga memperkuat koalisinya dengan membawa kembali sekutu lamanya, Gideon Saar, sehingga meningkatkan mayoritasnya di Knesset menjadi 68 kursi dari total 120. Langkah ini memberinya jaminan stabilitas terhadap mitra koalisi yang kerap memberontak.
Baca Juga: Israel Membom Pusat Beirut dan Tewaskan 6 Orang, 1,2 Juta Warga Lebanon Mengungsi
Setelah berhasil bertahan dari krisis terbesar dalam sejarah Israel, Netanyahu kini berpeluang menyelesaikan masa jabatannya, dengan pemilu berikutnya baru akan diadakan pada 2026.