Sumber: Channel News Asia | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - YANGON. Otoritas militer yang bertanggungjawab atas Myanmar memperluas larangan media sosial menyusul kudeta Senin (1/2), dengan meblokir Twitter dan Instagram
Selain Facebook dan aplikasi terkait, pemerintahan militer Myanmar pada Jumat (5/2) memerintahkan operator komunikasi dan penyedia layanan internet untuk memotong akses ke Twitter dan Instagram.
Melansir Channel News Asia, pemerintahan militer Myanmar dalam pernyataan mengatakan, beberapa orang mencoba menggunakan kedua platform tersebut untuk menyebarkan berita palsu.
Netblocks, yang melacak gangguan dan penutupan media sosial, mengonfirmasi hilangnya layanan Twitter di Myanmar mulai pukul 10 malam. Instagram sudah tunduk pada pembatasan.
Baca Juga: Terkait Myanmar, Jokowi ingatkan agar anggota hormati prinsip-prinsip piagam ASEAN
Twitter menyatakan "sangat prihatin" atas perintah pemblokiran layanan internet di Myanmar dan berjanji untuk "mengadvokasi untuk mengakhiri pemblokiran oleh pemerintah yang merusak".
"Itu merusak percakapan publik dan hak orang untuk membuat suara mereka didengar," kata juru bicara Twitter dalam pernyataan Sabtu (6/2), seperti dikutip Channel News Asia.
Protes atas kudeta terus berlanjut
Telenor, perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Norwegia dan beroperasi di Myanmar melalui anak perusahaannya, menyebutkan, telah mematuhi perintah tersebut tetapi meminta "perlunya dan proporsionalitas arahan tersebut".
Media pemerintah sangat disensor di Myanmar, dan Facebook khususnya telah menjadi sumber berita dan informasi utama di negara junta tersebut. Platform media sosial itu juga digunakan untuk kampanye protes kudeta.
Baca Juga: Dewan Keamanan PBB mendesak militer Myanmar bebaskan semua tahanan politik
Dan, untuk malam keempat pada Jumat (5/2), kebisingan dari jendela dan balkon kembali bergema di seluruh ibu kota komersial Yangon, saat perlawanan terhadap kudeta serta penangkapan aktivis dan politisi semakin meningkat.
Sebelumnya pada Jumat, hampir 300 anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi menyatakan diri mereka sebagai satu-satunya wakil rakyat yang sah, dan meminta pengakuan internasional sebagai pemerintahan.
Mereka seharusnya mengambil sumpah pada Senin (1/5) dalam pembukaan sidang Parlemen setelah pemilihan November 2020, ketika militer mengumumkan mengambil alih kekuasaan dan menetapkan keadaan darurat selama satu tahun.
Militer menuduh Suu Kyi dan partainya gagal menindaklanjuti keluhan mereka soal kecurangan pemilu tahun lalu, meskipun komisi pemilihan mengatakan tidak menemukan bukti untuk mendukung klaim tersebut.