Reporter: Dyah Megasari, The Telegraph, The Sydney Morning Herald, BBC |
LONDON. Meski petinggi Uni Eropa telah mencapai mufakat bahwa dana paket penyelamatan Eropa dinaikkan menjadi 1 triliun euro atau setara dengan US$ 1,4 triliun dari 440 miliar euro, skeptisme di pasar terus terjadi. Bahkan, pandangan pesimispun dilontarkan oleh investor veteran kelas kakap yaitu George Soros.
Ia menilai, kurangnya figur kepemimpinan di zona euro membuat kesepakatan yang dibuat tak akan berumur panjang. "Kesepakatan baru di Brussel untuk mengatasi krisis hanya akan berlangsung selama satu hari dan tiga bulan sejak kebijakan itu disetujui," demikian pandangan Soros.
Ia mengingatkan bahwa krisis zona Eropa bisa menghancurkan sistem keuangan yang ada. Sedikit bernostalgia, ketenaran Soros mulai mencuat pada periode 1990-an disaat Inggris dilanda masalah keuangan.
Saat itu pasar menilai politisi kehabisan hal untuk dilakukan. Pasar ramai-ramai melepas poundsterling karena tak yakin dengan solusi yang ditawarkan.
Melalui mekanisme yang saat itu dikenal dengan istilah Exchange Rate Mechanism (ERM) suku bunga Inggris di tengah krisis berada di level 15% (1992). Kenyataanya, Soros justru menjadi orang kaya karena mempertahankan poundsterling.
Apakah kondisi krisis Eropa memiliki pola yang sama dengan krisis Inggris di masa lampau? Saat kepercayaan pasar tenggelam ke titik terendah karena para pemimpin kehilangan ide untuk mengentaskan krisis, apakah euro akan semakin tak bernilai? Pertanyaan besarnya adalah apakah Soros akan melepas euro?
Pria yang merupakan Chairman Soros Fund Management and of the Open Society Institutmen itu jawab tidak. Alasannya, pemerintah Eropa akan menemukan cara untuk menjaga euro sebagai mata uang tunggal secara utuh, dalam artian tidak akan dibiarkan melorot terlalu dalam terhadap mata uang utama lainnya meskipun alternatif yang sudah disepakati gagal menghentikan penyakit keuangan di Eropa.
Yunani efektif bangkrut dan picu masalah baru
Umur dana talangan tak terlalu lama lantaran masalah Yunani. Menyoroti masalah keuangan Negeri Para Dewa itu, pria yang masuk peringkat tujuh dalam daftar 400 orang terkaya di dunia versi Forbes ini menilai pemangkasan 50% utang negeri itu tidak akan cukup menghentikan penurunan ekonomi yang terjadi. "Hal itu justru bisa menyebabkan kekacauan sosial yang lebih besar," pendapatnya.
Pernyataan Soros dikuatkan oleh penilaian Goldman Sachs yang menganggap kesepakatan itu justru mengantarkan Eropa menuju resesi di tengah kepercayaan investor terus memudar.
"Mengingat besarnya krisis yang terjadi di Eropa, kesepakatan itu terlalu kecil dan sangat terlambat," ungkap Soros. Sayangnya, ujar pria berusia 81 tahun ini penyakit Yunani bukan krisis terakhir yang akan terjadi di Eropa. Pemicu utamanya adalah isu-isu mendasar justru belum diselesaikan. "Jelas jumlah utang yang diakumulasikan tak bisa dipertahankan. Negara itu secara efektif sudah bangkrut," tegas Soros.
Salah satu hal yang paling mendasar adalah bahwa sebenarnya banyak lembaga swasta seperti bank yang tidak secara sukarela bergabung dengan kesepakatan Brussel. Mereka sejatinya menunggu asuransi yang ditawarkan oleh credit default swap (CDS). Jadi, pemangkasan nilai piutang bank yang memiliki eksposur ke Yunani akan memicu pembayaran CDS dan mungkin akan menimbulkan krisis baru.
"Sebagai lembaga swasta, mereka bisa berpendapat bahwa hal itu merupakan tanggungjawab fidusia dewan untuk melihat kepentingan tiap bank daripada manfaat secara umum," ujar Soros.
Ia melanjutkan, masalah baru tersebut disebabkan oleh kegagalan pemerintah dan kurangnya pemahaman antara pemimpin mengenai bagaimana menangani pasar yang bergerak sangat mengejutkan. "Masalah ini belum mencuat saat ini, namun akan muncul dalam beberapa minggu ke depan," prediksi Soros.
Sabtu lalu, Kepala European Central Bank Jean Claude Trichet membantah tuduhan bahwa bank saat ini digunakan untuk tujuan-tujuan politik. "Setiap keputusan yang dibuat didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fiskal dan hal itu sangat independen," tegas Trichet.