Sumber: Bloomberg | Editor: Yuwono triatmojo
LONDON. Standard Chartered Plc (Stanchart) membukukan kinerja buruk sepanjang tahun 2015. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1989, perusahaan jasa keuangan yang bermarkas di London itu mencetak kerugian sebelum pajak senilai US$ 1,5 miliar atau setara Rp 20,1 triliun (kurs US$ 1=Rp 13.400). Tahun 2014, Stanchart masih membukukan laba sebelum pajak senilai US$ 4,2 miliar.
Kerugian tersebut terjadi disebabkan melesetnya target pendapatan dan kredit macet yang meningkat dua kali lipat terbesar sepanjang sejarah. Pendapatan perushaan turun 15% menjadi US$ 15,4 miliar. Sedangkan kredit macet melonjak menjadi US$ 4 miliar dari sebelumnya 2,1 miliar.
Seperti diberitakan Bloomberg, Selasa (23/2), perusahaan yang membukukan menurunan nilai bisnis di Thailand tersebut mengaku tengah meninjau ulang operasional bisnisnya di Indonesia, memangkas ekses dari komoditas tambang dan meniadakan bonus bagi para eksekutifnya. "Tidak diragukan, tahun 2016 akan menjadi tahun yang sulit," tutur Bill Winters, Chief Executive Officer (CEO) Standard Chartered.
Asal tahu saja, salah satu kredit macet terbesar Stanchart di Indonesia adalah pinjaman senilai total US$ 1 miliar yang diberikan kepada PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN). Dalam laporan keuangan BORN per 30 September 2014, perusahaan yang sempat berduet dengan Grup Bakrie di saham Bumi Plc (ARMS) itu masih mencatatkan utang senilai US$ 739,42 juta kepada Stanchart.
Pasca rilis kinerja tahun 2015, saham Stanchart merosot hingga 2,5% pada pukul 12.35 waktu London. Alhasil, sejak awal tahun saham Stanchart sudah terpangkas sebanyak 25%.