Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - DW. Suhu udara yang panas terasa menyekik ketika Mohammad Aamir Khan terbangun di kamar tidurnya yang pengap dan tidak berjendela. Usai bersembahyang, dia bergegas menuruni tangga dan berjalan ke arah taksinya yang diparkir di luar.
Aamir Khan sedang menjalani keseharian barunya menjemput mayat.
Supir taksi di ibu kota India, New Delhi, itu awalnya mendapati diri terjebak di dalam karantina massal yang diberlakukan pemerintah. Tanpa penumpang, dia melakoni satu-satunya bisnis yang sedang tumbuh pesat akhir-akhir ini, yakni jasa ambulans swasta.
Namun tidak lama setelah menunaikan tugas pertamanya, mobil taksi milik Aamir Khan lebih banyak digunakan buat mengangkut mayat ketimbang pasien. Kini dia menghabiskan hari menghantar jenazah korban Covid-19 ke pemakaman atau krematorium.
Terkadang, mobilnya bisa mengangkut enam jenazah sekaligus, yang ditumpuk satu sama lain di bagian belakang kendaraan.
“Awalnya terasa aneh bahwa saya lebih banyak mengangkut jenazah ketimbang pasien,” kata Aamir Khan. “Tapi seiring dengan waktu saya menjadi terbiasa.”
Ambulans milik pemerintah bukan hal yang lazim ditemukan di India. Kebanyakan warga terbiasa memesan ambulans swasta. Kebanyakan mobil yang digunakan adalah minibus yang sudah dimodifikasi dan dibubuhi nomer telepon pada bagian luar untuk dicatat warga yang membutuhkan.
Namun, kali ini Aamir harus merahasiakan pekerjaan barunya kepada para tetangga di Mandawali, sebuah pemukiman kumuh di Delhi. Dia khawatir akan berbagi nasib dengan dokter dan perawat yang diserang atau diludahi oleh warga yang takut tertular virus corona.
“Mereka masih mengira saya menganggur,” katanya. Namun pendapatan supir taksi ambulans tidak semeriah seperti yang dikira, meski di tengah banjir pesanan saat wabah melanda. Jika dibandingkan risikonya, upah yang diterima Aamir “tidak cukup, tapi saya sudah muak. Pilihan apa lagi yang saya punya?” tukasnya.
Kesibukan pria berusia 38 tahun itu kini berpusar pada krematorium Nigambodh di tepi sungai Yamuna. Lantaran kelangkaan pegawai, jenazah yang harus dikremasi terpaksa dibiarkan mengantri.
Asap menyengat mata Aamir ketika dia memeriksa sebuah tungku pembakaran usai mengantar jenazah. Tangannya lalu menyambar sebuah kacamata pelindung yang digantung di dinding krematorium.
Dia hanya membisu ketika menyaksikan pegawai krematorium dan anggota keluarga mengangkut jenazah yang hendak dikremasi.
Siang itu Aamir mengantar jenazah Satinder Kumar Singh, seorang pegawai bank berusia 50 tahun yang meninggal dunia hanya dua jam setelah dilarikan ke rumah sakit, tutur anaknya. “Tidak ada martabat lagi. Ini seperti tong sampah saja,” kata Devinder Sharma, seorang tetangga Singh yang turut datang untuk berduka.
“Setelah melihat ini semua, saya tidak lagi percaya pada kemanusiaan,” kata dia.
Ketika api perlahan mulai melahap jenazah Kumar Singh, Aamir sudah melarikan ambulansnya untuk menjemput jenazah lain.