Sumber: Anadolu Agency | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dilaporkan terpaksa memilih rute penerbangan yang lebih panjang saat bertolak dari Budapest, Hungaria menuju Washington, D.C., Amerika Serikat.
Langkah ini diambil untuk menghindari kemungkinan pendaratan darurat di negara-negara yang berpotensi menegakkan surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).
Menurut laporan media Israel Haaretz, rute tersebut memutar sejauh 400 kilometer lebih jauh dari jalur biasa. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran bahwa negara-negara seperti Irlandia, Islandia, dan Belanda dapat mengambil tindakan hukum terhadap Netanyahu jika terjadi pendaratan tak terduga di wilayah mereka.
Baca Juga: Netanyahu Puji Rencana Trump yang Hendak Usir Warga Palestina dari Gaza
Rute Udara Khusus Sejak Perang Gaza Dimulai
Sejak dimulainya agresi militer Israel ke Jalur Gaza pada Oktober 2023, seluruh perjalanan Netanyahu ke Amerika Serikat disebutkan selalu melintasi wilayah Yunani, Italia, dan Prancis, sebelum mencapai Samudera Atlantik dan mendarat di Amerika Serikat.
Pemilihan rute ini diduga bagian dari strategi diplomatik untuk menghindari potensi ancaman hukum internasional selama penerbangan.
Setibanya di Washington, Netanyahu disambut oleh aksi unjuk rasa yang menuntut gencatan senjata di Gaza serta kesepakatan pertukaran tawanan antara Israel dan kelompok Hamas. Aksi ini mencerminkan tekanan internasional yang terus meningkat terhadap kebijakan militer Israel di wilayah Palestina.
Kunjungan ke Hungaria dan Langkah Politik Kontroversial
Pada Kamis sebelumnya, Netanyahu tiba di Budapest dalam kunjungan resmi. Kunjungan ini dinilai sebagai tantangan terbuka terhadap surat perintah penangkapan yang dikeluarkan ICC atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Gaza.
Tak lama setelah kunjungan tersebut, pemerintah Hungaria mengumumkan bahwa negara itu secara resmi menarik diri dari keanggotaan ICC, sebuah keputusan yang memicu kecaman luas dari komunitas internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Baca Juga: Netanyahu Ancam Segera Akhir Gencatan Senjata dan Kembali Menyerang Gaza
Latar Belakang Surat Perintah Penangkapan ICC
Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas dugaan keterlibatan mereka dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik bersenjata di Gaza.
Israel bukan merupakan anggota ICC, namun surat perintah tersebut tetap berlaku di 124 negara anggota Statuta Roma. Oleh karena itu, jika Netanyahu atau pejabat lain Israel melakukan pendaratan di negara anggota ICC, mereka dapat secara hukum ditangkap dan diserahkan ke pengadilan internasional di Den Haag.
Selain kasus di ICC, Israel juga tengah menghadapi gugatan atas dugaan genosida di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), yang diajukan oleh Afrika Selatan. Sejak dimulainya agresi ke Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 50.700 warga Palestina telah dilaporkan tewas akibat operasi militer Israel.