Reporter: Anggar Septiadi, Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Masalah virus korona belum juga bisa teratasi, dunia sudah kembali dihujani berbagai masalah baru. Tensi Amerika Serikat (AS) dengan China semakin panas karena masalah otonomi Hong Kong. China lewat Undang-Undang (UU) Keamanan dianggap berusaha membatasi gerak demokrasi Hong Kong. AS yang merasa memiliki kepentingan ekonomi dan bisnis di Hong Kong, ikut campur dalam masalah ini, membuat China berang.
Negara-negara lain terpecah antara menjadi kubu pendukung China dan AS. Belum lagi masalah perbatasan menyebabkan Tiongkok bersitegang dengan sejumlah negara lain seperti Taiwan dan India. Di lain sisi, masing-masing negara juga masih pusing mencari cara agar ekonomi di dalam negeri kembali berputar di tengah ancaman virus yang masih tinggi.
Baca Juga: Demonstrasi kematian George Floyd di AS meluas ke Eropa, ini detail kasusnya
Belum selesai sampai disitu. Kasus kematian pria kulit hitam AS, George Floyd pada Senin pekan lalu yang sarat isu ras, menyeret AS pada pusara konflik sosial. Unjuk rasa warga AS yang menuntut keadilan atas kematian Floyd semakin melebar hingga menciptakan kerusuhan.
Seperti dikutip Reuters, Senin (1/6), toko-toko ritel seperti Target Corp, Walmart dan Apple Inc yang mulai kembali beroperasi pasca lockdown korona, harus kembali dututup karena aksi penjarahan oleh para pemrotes terjadi di banyak kota di AS.
Adapun Amazon.com terus memantau situasi. "Di beberapa kota, kami menyesuaikan rute atau mengurangi operasi pengiriman untuk memastikan keamanan tim kami," kata Amazon lewat surel.
Ekonomi turun
Kondisi ini diproyeksi bakal menekan ekonomi dunia. Pada Kamis (28/5) lalu Departemen Perdagangan AS mengumumkan, produk domestik bruto (PDB) AS sepanjang kuartal I-2020 merosot hingga 5%, lebih dalam dibandingkan prediksi penurunan 4,8%. Penurunan sebesar itu menjadi yang terburuk setelah krisis ekonomi 2008. Kala itu AS mencatat pertumbuhan PDB negatif 8,4%.
Pandemi menjadi sumber utama merosotnya PDB AS. Ekspansi perusahaan yang minim akibat lockdown, sementara daya beli konsumen merosot lantaran jutaan orang dipecat dari pekerjaan.
Baca Juga: Dari Selandia Baru ke Rusia, protes kematian George Floyd menyebar ke luar AS
Ekonomi China tak kalah suram. Situasi saat ini menuntut urgensi yang lebih besar daripada krisis 2008. Ketika pertempuran melawan Covid-19 berlanjut, PDB Tiongkok menyusut 6,8% pada kuartal pertama 2020. Ini menjadi penurunan tahunan yang paling curam yang pernah dicatat China. Lantaran ketidakpastian yang tinggi, China bahkan tidak menentukan proyeksi pertumbuhan ekonominya di tahun ini.