Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - ANKARA. Turki dan Libya akhirnya berkomitmen untuk berjalan bersama di Mediterania Timur melalui kesepakatan maritim yang disahkan pada hari Senin (12/4).
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Libya Abdulhamid Dbeibeh pada hari Senin bertemu di Ankara untuk menegaskan komitmen pada perjanjian demarkasi maritim 2019.
"Kesepakatan maritim yang ditandatangani antara Turki dan Libya mengamankan kepentingan nasional dan masa depan kedua negara. Kami mengonfirmasi tekad kami tentang hal ini hari ini," ungkap Erdogan, seperti dikutip Reuters.
Bagi Libya, ini merupakan langkah awal di bawah pemerintahan baru yang dilantik pada 15 Maret lalu. Sebelum ini Libya terpecah menjadi dua kekuatan besar yang telah menguasai wilayah timur dan barat.
Baca Juga: Kapal Turki survei di perairan yang disengketakan, Yunani dan Turki memanas lagi
Bulan lalu Libya bisa dibilang berhasil menyelesaikan transisi kekuasaan dengan mulus setelah satu dekade kekacauan yang hebat.
Turki memainkan peran cukup penting dalam konflik menahun di Libya ini. Erdogan secara terbuka mendukung pihak Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli.
Kubu tersebut menghadapi entara Nasional Libya (LNA) yang berbasis di timur, yang didukung oleh Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Prancis.
Turki dan Libya beberapa hari terakhir mengadakan serangkaian pertemuan untuk mendikusikan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan investasi, perdagangan bilateral dan hubungan ekonomi.
Erdogan juga mengatakan bahwa Turki akan mengirim 150.000 dosis vaksin Covid-19 ke LIbya sebagai bagian dari dukungan melawan pandemi.
Kesepakatan maritim Turki-Libya ditentang Yunani
Yunani yang punya sejarah pertikaian cukup panjang dengan Turki di Laut Mediterania secara terbuka menentang perjanjian maritim antara Tripoli dan Ankara.
Baca Juga: Mesir dan Yunani bidik kerja sama multi-sektor di kawasan Mediterania timur
Negeri Para Dewa menyerukan agar perjanjian itu dibatalkan, karena negara itu membuka kembali kedutaan besarnya di Libya setelah tujuh tahun.
Dilaporkan oleh Reuters, Menteri Luar Negeri Yunani Nikos Dendias bertemu dengan Perdana Menteri alternatif Libya Hussein Atiya Abdul Hafeez Al-Qatrani di Benghazi dan mencatat bahwa parlemen Libya belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Berdasarkan pernyataan itu, pemerintah Yunani tegas menganggap kesepakatan maritim Turki-Libya tidak memiliki kekuatan hukum.
PM Dbeibeh tentunya menyangkal tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa perjanjian antara kedua negara, termasuk perjanjian demarkasi maritim, didasarkan pada kerangka kerja yang valid.