Sumber: SKY News,Reuters | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - MANILA– Wakil Presiden Filipina Sara Duterte kembali menjadi sorotan setelah mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memicu peningkatan protokol keamanan di negara itu.
Dalam pengarahan daring, putri mantan Presiden Rodrigo Duterte itu mengklaim telah menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Presiden Ferdinand Marcos Jr, ibu negara Liza Araneta, dan Ketua DPR Martin Romualdez jika dirinya terbunuh.
"Saya berkata, jika saya terbunuh, bunuh saja BBM [Bongbong Marcos], Liza Araneta, dan Martin Romualdez. Tidak bercanda," ujar Duterte.
Baca Juga: Wakil Presiden Filipina: Saya Akan Perintahkan Pembunuhan Marcos, Jika Saya Dibunuh
Pernyataan itu, yang ia sebut sebagai respons terhadap komentar daring terkait keselamatannya, menuai kecaman luas. Sekretaris Eksekutif Lucas Bersamin menyebut pernyataan tersebut sebagai ancaman aktif terhadap presiden dan memerintahkan Komando Keamanan Presiden untuk mengambil langkah tegas.
"Setiap ancaman terhadap nyawa presiden harus selalu ditanggapi dengan serius," kata Bersamin. Berdasarkan hukum pidana Filipina, ancaman publik semacam ini dapat diganjar hukuman penjara dan denda.
Perseteruan antara Sara Duterte dan Presiden Marcos telah berlangsung sejak keduanya, yang sebelumnya adalah sekutu dalam Pemilu 2022, berselisih pendapat terkait berbagai isu, termasuk kebijakan luar negeri dan penyelidikan dugaan penyalahgunaan anggaran.
Tonton: Jika Interpol Ingin Tangkap Mantan Presiden Duterte, Filipina Takkan Menghalangi
Pada Juni 2024, Duterte mundur dari kabinet Marcos sebagai Menteri Pendidikan dan kepala badan antipemberontakan, menandai keretakan aliansi politik mereka. Meski demikian, Duterte tetap menjabat sebagai wakil presiden, yang secara konstitusi dipilih secara terpisah dari presiden.
Kemarahan Duterte meningkat setelah Ketua DPR Martin Romualdez, yang juga sepupu Marcos, memangkas anggaran kantornya hampir dua pertiga. Penahanan kepala staf Duterte, Zuleika Lopez, atas dugaan menghambat penyelidikan kongres semakin memperkeruh hubungan mereka.
Retorika Sara Duterte
Pernyataan keras Duterte bukan kali pertama memicu kontroversi. Pada Oktober lalu, ia menyebut Presiden Marcos tidak kompeten dan mengaku pernah membayangkan untuk memenggal kepala presiden. Meski demikian, retorika ini justru memperkuat posisinya di mata pendukung ayahnya yang dikenal dengan pendekatan tanpa kompromi.
Baca Juga: Mantan Presiden Filipina Duterte Maju pada Pemilihan Wali Kota Bersama Putranya
"Memikirkan dan membicarakannya berbeda dengan benar-benar melakukannya," kata Duterte pada Sabtu (23/11). Ia juga menambahkan bahwa dirinya telah menerima ancaman terhadap nyawanya. "Jika itu terjadi, akan ada penyelidikan atas kematian saya. Penyelidikan atas kematian mereka akan menjadi yang berikutnya."
Ketegangan ini terjadi menjelang pemilu paruh waktu Mei 2025, yang akan menjadi ujian popularitas bagi Marcos sekaligus peluang untuk mengonsolidasikan kekuasaan sebelum masa jabatannya berakhir pada 2028.
Dalam sejarah politik Filipina, kekerasan bukanlah hal baru. Salah satu peristiwa paling kelam adalah pembunuhan Senator Benigno Aquino pada 1983, yang memicu jatuhnya rezim otoriter Ferdinand Marcos Sr, ayah dari presiden saat ini.
Baca Juga: Presiden Filipina: Relasi AS-Filipina Membantu Respons 'Lincah' Terhadap China
Jenderal Romeo Brawner, Kepala Staf Militer Filipina, menegaskan bahwa militer akan tetap netral di tengah konflik ini. "Kami menyerukan ketenangan dan tekad. Angkatan bersenjata kami tetap menghormati institusi demokrasi dan otoritas sipil."
Duterte dan Marcos berasal dari dua dinasti politik paling kuat di Filipina. Ayah Duterte, Rodrigo Duterte, terkenal dengan kebijakan antinarkobanya yang kontroversial dan berdarah, sementara keluarga Marcos telah lama dikaitkan dengan sejarah otoritarianisme di negara tersebut.
Ketegangan politik antara kedua keluarga ini menambah lapisan kompleks pada dinamika politik Filipina, memunculkan pertanyaan besar tentang stabilitas dan masa depan negara tersebut di bawah kepemimpinan Marcos dan Duterte.