Sumber: Telegraph | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Melansir The Teleraph, menurut unggahan Trump di Truth Social, keduanya membahas banyak hal termasuk perang Ukraina-Rusia, fentanyl, kedelai, dan berbagai produk pertanian lainnya. Keduanya juga menyetujui rencana kunjungan resmi: Trump akan ke China pada April, sementara Xi dijadwalkan berkunjung ke AS akhir tahun depan.
“Hubungan kami dengan China sangat kuat!” tulis Trump.
Namun pernyataan itu tidak menyinggung alasan utama Xi menghubungi: Taiwan, dan memanasnya ketegangan China dengan Jepang terkait masa depan pulau tersebut.
Media pemerintah China melaporkan bahwa Xi menyampaikan posisi resmi Beijing soal Taiwan. Ia mengatakan bahwa Taiwan di bawah kendali China merupakan bagian dari tatanan internasional pascaperang yang lahir dari kerja sama AS–China melawan “fasisme dan militerisme.”
“Melihat situasi saat ini, menjadi semakin penting bagi kita untuk bersama-sama menjaga kemenangan Perang Dunia II,” kata Xi kepada Trump.
Yang dimaksud “situasi saat ini” kemungkinan merujuk ke Jepang.
Baca Juga: Kebakaran Horor di Hong Kong: 36 Tewas, 279 Hilang, Xi Jinping Sampaikan Belasungkawa
Awal bulan ini, Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengatakan bahwa serangan China ke Taiwan dapat memicu respons militer dari Jepang. Pernyataan itu memunculkan krisis diplomatik terburuk antara kedua negara dalam lebih dari satu dekade.
Walaupun pejabat China berkali-kali meminta Takaichi menarik ucapannya, ia menolak. Ia dikenal tegas, bahkan menyebut Margaret Thatcher sebagai panutannya.
Sebagai respons, China mengeluarkan ancaman militer, membatalkan penerbangan ke Jepang, menghentikan pariwisata warganya, bahkan memanggil duta besar Jepang. Namun pemerintah Jepang tetap pada sikapnya.
Menteri Pertahanan Jepang, Shinjiro Koizumi, bahkan menegaskan akan tetap memasang rudal di Pulau Yonaguni, wilayah Jepang yang paling dekat dengan Taiwan, hanya sekitar 108 kilometer jauhnya, untuk memperkecil risiko serangan.
Sementara itu, militer China merilis video propaganda berjudul “Jika perang pecah hari ini, ini jawabanku!”, menampilkan adegan dramatis jet tempur dan kapal perang menembakkan rudal.
Baca Juga: McKinsey PHK 200 Karyawan Teknologi Pilih Andalkan AI
Tetapi telepon Xi kepada Trump menunjukkan sisi lain: ketidakpastian.
Tidak ada pihak yang secara resmi mengklaim siapa yang memulai telepon tersebut, namun laporan awal muncul dari media pemerintah China. Sumber Beijing yang dikutip Wall Street Journal menyebut Xi-lah yang menghubungi Trump.
William Yang, analis senior Asia Timur Laut dari International Crisis Group, mengatakan China hanya memulai panggilan tingkat tinggi seperti itu jika ada kebutuhan strategis yang sangat spesifik.
Menurutnya, Xi mungkin percaya bahwa Trump dapat membantu menghadapi tantangan serius terkait Jepang dan Taiwan.
Evan Medeiros, mantan pejabat keamanan nasional AS, menilai Xi melihat peluang untuk mempengaruhi pandangan Trump—khususnya soal Taiwan—yang mungkin menjadi fokus utama Xi.
Selama ini Trump pernah mengklaim bahwa Xi berjanji tidak akan menyerang Taiwan selama ia masih menjabat, sehingga sikap diam Xi setelah telepon ini dianggap tidak biasa.
Yang menilai bahwa Xi mungkin berharap Trump bisa menggunakan pengaruhnya terhadap Takaichi agar Jepang menurunkan nada dan tensi dalam isu Taiwan.
Tekanan ini bukan tanpa konsekuensi. Krisis tersebut sudah merugikan Jepang sekitar £10 miliar, terutama dari hilangnya pemasukan pariwisata China.
Tonton: Kebijakan Moneter Indonesia Vs Malaysia, Siapa Lebih Kuat?
Tak lama setelah berbicara dengan Xi, Trump menelepon Takaichi yang ia temui pertama kali bulan lalu, namun hubungan keduanya cepat menjadi dekat. Takaichi bahkan menghadiahkan Trump stik golf milik Shinzo Abe, mantan perdana menteri Jepang yang dekat dengan Trump dan mentor politiknya.
Menurut Yang, panggilan Trump itu bertujuan menegaskan bahwa aliansi AS–Jepang tetap kuat.
Takaichi mengatakan Trump memberinya pembaruan soal hubungan AS–China dan bahwa ia siap kapan saja menerima telepon dari Jepang.
Kini, Xi tinggal menunggu kunjungan Trump ke China tahun depan, momen yang bisa digunakannya untuk mencoba mengarahkan kembali peta geopolitik Asia, khususnya terkait Taiwan dan peran Jepang dalam keamanan kawasan.
Kesimpulan
Telepon mendadak antara Xi Jinping dan Donald Trump tampaknya lebih dari sekadar diplomasi rutin; langkah itu mencerminkan kekhawatiran Beijing terhadap memanasnya hubungan dengan Jepang soal Taiwan. Dengan Jepang mempertegas sikap pertahanan dan China merespons dengan ancaman militer serta tekanan ekonomi, Xi tampaknya berharap Trump dapat menjadi mediator informal untuk meredakan situasi dan mempengaruhi kebijakan Tokyo. Pertemuan bilateral yang akan datang dapat menjadi momen penting bagi masa depan stabilitas kawasan Asia Timur.













