Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah tujuh minggu tanpa dialog resmi, Ukraina dan Rusia dijadwalkan kembali menggelar pembicaraan damai pada Rabu mendatang di Turki. Kabar ini disampaikan langsung oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, yang mengutip pernyataan dari pejabat senior di Kyiv.
Pembicaraan tersebut menjadi sinyal awal dari kemungkinan kemajuan diplomatik dalam konflik yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun dan menewaskan puluhan ribu orang di kedua belah pihak.
Jadwal Masih Belum Pasti, Moskow dan Kyiv Saling Tunggu Kepastian
Meski Zelenskiy menyebut pertemuan dijadwalkan pada Rabu, kantor berita Rusia RIA Novosti dan TASS mengutip sumber di Turki yang menyebut pembicaraan akan berlangsung selama dua hari, Kamis dan Jumat. Kremlin sendiri mengaku masih menunggu konfirmasi resmi terkait tanggal pertemuan.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut bahwa posisi kedua negara sejauh ini "sangat bertolak belakang", terutama soal bagaimana cara mengakhiri perang. Ia juga menyebut telah ada pertukaran draf nota kesepahaman dari kedua belah pihak yang masih sangat jauh dari kata sepakat.
Baca Juga: Rusia Jatuhkan Bom Seberat 500 Kg di Pusat Perbelanjaan Ukraina
Agenda Ukraina: Tukar Tawanan, Pulangkan Anak, dan Dorong Pertemuan Pemimpin
Dalam pidato malam hari pada Senin, Zelenskiy menyatakan bahwa ia telah berbicara dengan Rustem Umerov, Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina, yang juga akan memimpin delegasi Ukraina dalam pembicaraan di Turki.
“Umerov melaporkan bahwa pertemuan direncanakan pada hari Rabu. Rincian lebih lanjut akan diumumkan besok,” ujar Zelenskiy.
Zelenskiy menegaskan bahwa agenda Ukraina mencakup:
-
Pertukaran tawanan perang,
-
Pemulangan anak-anak Ukraina yang diculik oleh Rusia, dan
-
Persiapan pertemuan pemimpin negara antara dirinya dan Presiden Vladimir Putin.
Putin Tolak Bertemu Zelenskiy Langsung, Legitimasi Jadi Alasan
Presiden Rusia Vladimir Putin sebelumnya menolak tantangan dari Zelenskiy untuk bertemu langsung, dengan alasan bahwa ia tidak mengakui legitimasi Zelenskiy sebagai Presiden karena Ukraina tidak menggelar pemilu baru saat masa jabatan lima tahunnya berakhir tahun lalu — akibat penerapan hukum darurat perang.
Presiden AS Donald Trump terus meningkatkan tekanan terhadap Moskow. Ia mengancam akan menerapkan sanksi baru dalam waktu 50 hari terhadap Rusia dan negara-negara yang membeli ekspor mereka jika tidak ada kesepakatan damai yang dicapai sebelum batas waktu tersebut.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noël Barrot, dalam kunjungannya ke Kyiv, mengkritik Rusia yang menolak gencatan senjata segera dan menyebut permintaan Moskow dalam negosiasi sebagai "maksimalis".
“Diskusi harus dimulai, tetapi berdasarkan kepentingan kedua belah pihak. Diplomasi bukanlah penyerahan diri,” ujar Barrot.
“Diplomasi dimulai dengan pertemuan di tingkat kepala negara dan pemerintahan, sesuatu yang berulang kali diminta oleh Zelenskiy.”
Barrot juga menyatakan mendukung paket sanksi yang lebih keras jika Putin tetap menolak gencatan senjata.
Baca Juga: Trump Ancam Rusia dengan Tarif 100% Jika Tak Sepakat dengan Ukraina dalam 50 Hari
Belum Ada Terobosan Menuju Gencatan Senjata
Dua putaran pembicaraan sebelumnya antara Ukraina dan Rusia di Istanbul pada 16 Mei dan 2 Juni hanya menghasilkan pertukaran tawanan perang dan jenazah tentara. Tidak ada terobosan menuju gencatan senjata atau penyelesaian konflik yang tercapai sejauh ini.
Kremlin tetap bersikeras bahwa Ukraina harus meninggalkan klaim atas empat wilayah yang disebut telah “dimasukkan secara resmi” ke dalam wilayah Federasi Rusia.
Meski rencana pembicaraan sudah diumumkan, pertempuran terus berlangsung. Rusia kembali meluncurkan serangan rudal dan ratusan drone ke sejumlah kota Ukraina pada Senin malam, menewaskan dua orang dan melukai 15 lainnya. Ukraina juga membalas dengan serangan drone jarak jauh ke wilayah Rusia.