Sumber: Daily Galaxy | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Tiga puluh empat bulan setelah membeli Twitter dengan nilai €41,8 miliar pada Oktober 2022, Elon Musk akhirnya melihat titik balik simbolis. Platform yang kini bernama X kembali bernilai sama dengan harga akuisisi tersebut.
Perjalanan panjang selama 1.030 hari ini diwarnai perubahan besar, kontroversi publik, krisis internal, hingga tarik ulur dengan investor. Namun, pertanyaan masih tersisa: apakah Musk benar-benar berhasil membalikkan keadaan, atau sekadar kembali ke titik awal?
Ketika pertama kali mengakuisisi Twitter, Musk langsung melakukan langkah drastis. Hampir 80% karyawan diberhentikan, kebijakan moderasi lama dihapus, dan visi “kebebasan berbicara absolut” diperkenalkan.
Baca Juga: Cuaca Buruk Tunda Peluncuran Starship ke-10 SpaceX untuk Kesekian Kalinya
Dampaknya, kepercayaan publik merosot, pengiklan hengkang, dan pada pertengahan 2023, banyak pihak menilai Twitter sebagai contoh kegagalan akibat ambisi yang berlebihan.
Langkah berikutnya adalah rebranding menjadi X, bagian dari ambisi Musk membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar media sosial. Namun, perubahan nama tidak serta-merta meredam kritik.
Tuduhan bahwa platform tersebut menjadi sarang ujaran kebencian dan misinformasi justru meningkat, sementara kesaksian mantan karyawan menggambarkan suasana kerja yang kacau dan toksik.
Seiring dengan kaburnya pengiklan dan meningkatnya sorotan publik, Musk tidak melunak.
Sebaliknya, ia melancarkan perlawanan dengan menggugat sejumlah kelompok periklanan yang dituduh berkolusi, serta meluncurkan xAI untuk memperkuat kemampuan kecerdasan buatan di platform.
Baca Juga: Elon Musk Ancam Gugat Apple, Tuduh Monopoli Peringkat App Store
Di balik itu, Musk mencoba mengubah X menjadi aplikasi serba guna yang menggabungkan media sosial, layanan keuangan, dan komunikasi — sebuah model yang terinspirasi dari WeChat di China. Meski skeptisisme tinggi, investor besar seperti Fidelity dan Sequoia Capital tetap memberikan dukungan.
Valuasi Pulih, Tapi Apakah Benar-Benar Bangkit?
Pada Maret 2025, valuasi X kembali ke angka €41,8 miliar, naik tajam dari September 2024 ketika nilainya dilaporkan merosot hingga di bawah US$ 10 miliar.
Pemulihan ini menjadi tonggak penting, meski belum berarti keuntungan nyata. X masih menanggung beban utang besar, sementara pendapatan utama dari iklan belum stabil.
Keterlibatan pengguna pun semakin terpolarisasi. Kritik terhadap lemahnya moderasi dan dugaan bias algoritma terus mencuat. Sebagian pihak bahkan meragukan apakah valuasi tersebut mencerminkan pertumbuhan nyata, atau sekadar optimisme investor terhadap ekosistem teknologi Musk, termasuk Tesla, SpaceX, dan xAI.
Baca Juga: Tesla Hadiahi Elon Musk Saham Baru Senilai Rp 475 Triliun, Ini Alasannya
Musk terus mempromosikan X sebagai pusat layanan digital terpadu — tempat untuk bertransaksi, berkomunikasi, berbelanja, hingga mengakses konten.
Ia menjanjikan integrasi pembayaran, monetisasi bagi kreator, serta layanan berbasis AI. Namun, untuk mewujudkan visi tersebut, X masih membutuhkan adopsi massal, persetujuan regulasi, dan kepercayaan publik — faktor-faktor yang belum sepenuhnya tercapai.
Kembalinya valuasi X ke titik semula lebih bersifat simbolis ketimbang ekonomis. Setelah hampir tiga tahun, Musk menunjukkan bahwa ia mampu bertahan. Namun, apakah X benar-benar akan menjadi masa depan internet, atau justru perlahan kehilangan arah, masih menjadi pertanyaan besar.