Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengambil langkah drastis untuk menekan lonjakan harga telur akibat wabah flu burung yang menghancurkan industri unggas.
Salah satu kebijakan utamanya adalah hampir menggandakan impor telur dari Brasil, yang sebelumnya hanya digunakan untuk pakan hewan peliharaan, serta mempertimbangkan pelonggaran regulasi terkait penggunaan telur dari ayam pedaging untuk konsumsi manusia.
Lonjakan Harga Telur dan Dampak Flu Burung
Sejak awal 2022, flu burung telah memusnahkan hampir 170 juta unggas, termasuk ayam dan kalkun, menyebabkan kelangkaan telur yang signifikan. Harga grosir telur melonjak 53,6% pada Februari sebelum sedikit menurun pada Maret. Dampaknya terasa luas, dari rak-rak supermarket yang kosong hingga kenaikan harga di restoran.
Pemerintah Trump mengumumkan rencana senilai US$1 miliar untuk menekan harga telur. Rencana ini mencakup upaya pencegahan penyebaran virus di peternakan, penelitian vaksin, serta peningkatan impor telur dari negara-negara seperti Turki, Brasil, dan Korea Selatan.
Baca Juga: AS Melaporkan Wabah Flu Burung H7N9 yang Mematikan untuk Pertama Kalinya Sejak 2017
Selain itu, pemerintahan Trump juga meminta negara-negara Eropa untuk meningkatkan ekspor telur ke AS.
Impor Telur dari Brasil dan Pertimbangan Regulasi Baru
Pada Januari, pemerintahan Trump mengizinkan impor telur dari Brasil untuk digunakan dalam makanan olahan, seperti campuran kue, es krim, dan saus salad. Sebelumnya, telur Brasil hanya digunakan untuk pakan hewan.
Sementara itu, Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) sedang meninjau petisi dari National Chicken Council yang mengusulkan penggunaan telur dari ayam pedaging untuk konsumsi manusia.
Saat ini, sekitar 360 juta telur ayam pedaging dibuang setiap tahunnya karena tidak memenuhi standar penetasan. Sebagian kecil digunakan untuk pembuatan vaksin dan keperluan lain, tetapi mayoritas dihancurkan.
Tantangan Keamanan Pangan
FDA sebelumnya menolak permintaan serupa pada 2023 dengan alasan risiko kontaminasi salmonella. Regulasi saat ini mewajibkan telur disimpan pada suhu 7 derajat Celsius dalam waktu 36 jam setelah bertelur. Namun, peternakan ayam pedaging umumnya menyimpan telur pada suhu sekitar 18 derajat Celsius dan tidak memiliki fasilitas pendinginan yang memadai.
Meski industri ayam berargumen bahwa telur tersebut akan dipasteurisasi sebelum digunakan, para ahli keamanan pangan memperingatkan bahwa penyimpanan yang tidak memadai dapat meningkatkan jumlah patogen ke tingkat yang tidak dapat sepenuhnya dieliminasi oleh proses pasteurisasi.
Susan Mayne, mantan direktur FDA Center for Food Safety and Applied Nutrition, menyatakan bahwa ada potensi peningkatan risiko penyakit bawaan makanan akibat kebijakan ini.
Baca Juga: Ada Gangguan Pasokan Akibat Flu Burung, Turki Bakal Ekspor 15.000 Ton Telur ke AS
Kebijakan Kesejahteraan Hewan Ditangguhkan
Sebagai respons terhadap kelangkaan telur dan harga yang melonjak, beberapa negara bagian AS menunda atau mempertimbangkan untuk mencabut kebijakan kesejahteraan hewan yang mewajibkan telur berasal dari ayam yang dipelihara di kandang bebas.
Nevada menangguhkan undang-undang 2021 yang mewajibkan semua telur yang dijual berasal dari ayam bebas kandang, sementara Arizona sedang mempertimbangkan pencabutan aturan serupa.
Patrick Bray, wakil presiden eksekutif Arizona Farm and Ranch Group, menyatakan bahwa krisis ini telah mengubah perspektif konsumen. "Beberapa tahun lalu, konsumen menuntut produk dari ayam bebas kandang. Sekarang, mereka mulai menyadari dampaknya ketika kita kehilangan ratusan juta unggas dan harga telur meroket."