Sumber: Channelnewsasia.com | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA: Pemerintah Amerika Serikat sedikit lagi akan melarang TikTok beroperasi di negara mereka.
Rancangan undang-undang yang mengharuskan pemisahan TikTok dari perusahaan induk mereka, ByteDance, asal China telah disetujui oleh Senat AS bulan lalu. Tidak berselang lama, Presiden Joe Biden meneken RUU tersebut menjadi UU.
Jika ByteDance tidak menjual TikTok dalam waktu setahun, maka aplikasi media sosial itu akan dilarang di AS.
Kritikus telah sejak lama menuding TikTok dikendalikan oleh pemerintah China. Aplikasi itu juga ditengarai digunakan untuk mengumpulkan data pengguna dan menyebarkan propaganda pemerintah Beijing. Baik China dan ByteDance membantah dengan keras tuduhan-tuduhan tersebut.
Bagaimana TikTok akan dilarang?
Singkatnya, aplikasi TikTok akan dihapus dari Apple Store dan Goole Play Store di AS.
Para pengguna memang masih bisa menggunakan TikTok yang sudah terpasang di ponsel mereka, tapi aplikasi tersebut tidak akan bisa menerima pembaruan dan perbaikan bug.
Lektor kepala Brian Lee, kepala program komunikasi di Singapore University of Social Sciences (SUSS), mengatakan Amerika Utara memiliki 15 persen dari total pengguna TikTok di seluruh dunia, atau sekitar 192 juta. Pelarangan TikTok di AS akan memberikan dampak yang sangat besar bagi ByteDance.
Kepada CNA, Lee mengatakan akan terjadi "efek domino" terhadap negara lain, terutama mereka yang bersahabat dengan AS. Kemungkinan, kata Lee, negara-negara itu juga akan menerapkan larangan serupa.
Selain itu para pengamat menyebut pelarangan TikTok akan semakin membuat hubungan AS dan China kian tegang.
Muhammad Faizal Abdul Rahman, pengamat dari lembaga S. Rajaratnam School of International Studies, mengatakan pelarangan ini akan semakin memperkuat persepsi bahwa AS menganggap kebangkitan ekonomi China tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Selain itu, China juga dianggap penghalang bagi AS dalam menguasai sektor digital di seluruh dunia.
AS bisa juga menjadikan pelarangan TikTok sebagai syarat pemberian bantuan militer untuk Ukraina, Israel atau Taiwan. Jika demikian, China akan menganggap langkah AS ini sebagai satu lagi "alat perang hibrida", kata Faizal.
Namun bagaimanapun juga, pengguna pasti akan memiliki cara untuk menyikapi larangan tersebut, menurut Lee dari SUSS.
Misalnya, pengguna bisa menyembunyikan lokasi mereka menggunakan jaringan privat virtual atau VPN meski ini dianggap pelanggaran dalam ketentuan layanan TikTok.
Pengguna juga bisa mengakali larangan ini dengan memasang kartu SIM negara lain di ponsel mereka, atau dengan menggunakan toko aplikasi alternatif.
TikTok sebelumnya juga diblokir di Iran, Nepal, Afghanistan, Somalia, dan yang paling menonjol di India.
Pemerintah New Delhi sudah melarang TikTok sejak empat tahun lalu, menutup akses bagi 200 juta penggunanya di India. Jumlah pengguna TikTok di India adalah yang terbesar setelah China.
Menurut India, aplikasi-aplikasi Cina mengancam kedaulatan dan keamanan negara karena adanya masalah privasi.
Pelarangan ini awalnya memang sangat mengganggu bagi para pengguna TikTok di India. Namun menurut Faizal yang telah mempelajari kompetisi geopolitik dan teknologi digital, pada akhirnya masyarakat akan melupakan TikTok dan berpindah ke platform lain dalam beberapa tahun ke depan.
Tapi konteks India dengan AS berbeda: Di India pelarangan TikTok mendapatkan banyak dukungan, menyusul ketegangan kedua negara akibat sengketa wilayah yang berlangsung sejak lama.
"Tidak semua orang di AS setuju dengan alasan pemerintahnya yang mengatakan TikTok adalah ancaman keamanan," kata Faizal.
Siapa yang paling terdampak?
Lee berpendapat, pelarangan ini akan memicu protes dari para pengguna dan kreator konten AS yang menjadikan TikTok sebagai sumber mata pencaharian.
Banyak orang di AS menjalankan usaha dan mencari uang di fitur TikTok Shop.
Jika TikTok pada akhirnya benar-benar dilarang di AS, maka platform video berdurasi pendek lainnya seperti Instagram Reels, Youtube Shorts dan Triller akan mengisi kekosongan tersebut.
Faizal mengatakan, raksasa teknologi seperti Google, Meta dan X sudah pasti akan mencari keuntungan dari kondisi ini.
Mengapa ByteDance tidak menjual saja TikTok?
Mantan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan kepada CNBC Maret lalu bahwa ia sedang membangun sebuah grup investor untuk mengakuisisi TikTok.
Wall Street Journal juga melaporkan bahwa mantan CEO Activision Blizzard, Bobby Kotick, sedang mencari mitra potensial untuk pembelian TikTok.
Namun, ByteDance sepertinya tidak akan menjual TikTok kepada siapapun.
China sendiri mungkin tidak akan menerima divestasi TikTok dari ByteDance. Pasalnya menurut Faizal, China menganggap pelarangan TikTok adalah tindakan permusuhan oleh pemerintah AS yang berkolusi dengan media dan pengusaha.
Divestasi juga akan melanggar peraturan ekspor China yang mengklasifikasikan algoritma TikTok sebagai "teknologi sensitif yang tidak boleh dijual ke entitas asing".
"China akan menanggapinya dengan menjatuhkan sanksi-sanksi terhadap perusahaan-perusahaan AS," tambahnya.
"Tetapi apakah China hanya menggertak saja, ini yang perlu kita lihat nanti."
Kapan pelarangan akan berlaku?
ByteDance punya waktu sembilan bulan untuk menjual TikTok, dengan kemungkinan perpanjangan tiga bulan jika penjualan sedang dalam proses.
Tenggat waktu itu akan berakhir setelah pemenang pemilu presiden AS 2024 diambil sumpahnya.
Calon presiden dari Partai Republik Donald Trump, yang sempat ingin melarang TikTok ketika dia masih menjabat, mengkritik keputusan tersebut.
Alex Capri, peneliti senior di Hinrich Foundation dan dosen senior di Fakultas Bisnis National University of Singapore (NUS), Singapura, meyakini nasib TikTok tidak tergantung dari siapa presiden terpilih AS nanti.
CEO TikTok, Chew Shou Zi, telah bersumpah untuk membawa masalah ini ke pengadilan.
Jika proses hukum ini berlangsung, maka praktis pelarangan TikTok akan tertunda. Jika kasus ini maju ke pengadilan, diperkirakan akan butuh waktu bertahun-tahun sampai bisa rampung.
"Pengadilan AS pada akhirnya yang akan memutuskan apakah akan menegakkan atau membatalkan larangan terhadap TikTok, berdasarkan Amandemen Pertama Konstitusi AS, dan hak kebebasan berbicara untuk seluruh warga negara," kata Capri, seraya menambahkan bahwa kasus ini dapat berlanjut hingga ke Mahkamah Agung AS.
"Jika pengadilan membatalkan larangan tersebut, TikTok tidak akan kemana-mana."