Reporter: Siti Masitoh | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Dunia atawa World Bank mewanti-wanti terkait utang di negara berkembang yang semakin menggunung.
Dalam Laporan Utang Internasional 2023 yang dirilis pada pada 13 Desember 2023, Bank Dunia memberikan peringatan akan bahaya yang dihadapi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, khususnya negara-negara termiskin terkait utang yang kian melonjak.
Timbunan utang ini dikhawatirkan akan membuat negara tersebut mengalami krisis, khususnya negara yang perekonomiannya belum stabil.
Wakil Presiden Senior dan Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit S. Gill mengatakan, pada tahun 2022 Bank Dunia mencatat, negara-negara berpendapatan rendah dan menengah membayar utang sebesar US$ 443,5 miliar untuk melunasi utang publik eksternal dan jaminan publik mereka.
Mirisnya, di tengah ketersediaan anggaran yang terbatas, dana yang digunakan untuk membayar utang tersebut adalah dengan mengalihkan belanja negara untuk bidang kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan penting lainnya.
Baca Juga: Pasar SBN Ritel Diprediksi Bakal Tetap Semarak Tahun Depan, Ini Alasannya
World Bank memproyeksikan biaya pembayaran utang atas utang pemerintah dan utang yang dijamin publik diproyeksikan akan tumbuh sebesar 10% untuk semua negara berkembang selama periode 2023-2024. Pertumbuhan bahkan hampir 40% untuk negara-negara berpenghasilan rendah.
Sementara itu, negara-negara yang memenuhi syarat untuk meminjam dari International Development Association (IDA) juga kemungkinan besar akan menghadapi kesulitan di tahun-tahun mendatang.
“Itu disebabkan karena pembayaran bunga atas total utang luar negeri mereka telah meningkat empat kali lipat sejak tahun 2012, mencapai angka tertinggi sepanjang masa sebesar US$ 23,6 miliar,” tutur Gill dalam laporan tersebut.
Dia juga menyebut pembayaran bunga utang oleh negara-negara berpendapatan rendah dan menengah juga dengan menghabiskan bagian pendapatan ekspor yang semakin besar.
“Sehingga beberapa negara hanya berjarak satu guncangan dari krisis utang. Lebih dari sepertiga utang ini melibatkan suku bunga mengambang yang bisa naik secara tiba-tiba,” ungkapnya.
Baca Juga: Menakar Dampak Sinyal Penurunan Suku Bunga The Fed pada Perekonomian Global dan RI
Gill menambahkan, tingkat suku bunga yang tinggi juga menyebabkan negara harus membayar lebih tinggi utangnya. Bahkan, negara-negara miskin harus menghadapi beban tambahan terkait akumulasi pokok utang, bunga, dan tambahan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan hak penangguhan pembayaran utang.
“Dapat dikatakan bahwa biaya yang harus ditanggung tidaklah kecil, dan negara-negara miskin akan membutuhkan lebih banyak bantuan global untuk meringankan utang mereka dibandingkan dengan yang mereka terima saat ini,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bank Dunia juga mencatat, saat ini satu dari empat negara berkembang secara efektif telah dikeluarkan dari pasar modal internasional. Dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah gagal bayar utang negara di negara-negara tersebut telah melonjak menjadi 18, melampaui total dua dekade sebelumnya.
Gill menambahkan, bagi negara-negara termiskin, utang telah menjadi beban yang hampir melumpuhkan 28 negara yang memenuhi syarat untuk meminjam dari IDA Bank Dunia, yang kini menghadapi risiko tinggi mengalami kesulitan utang.