Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Adi Wikanto
Davos. Arus imigran yang menjamur di negara-negara Eropa terancam mempengaruhi kebijakan bebas visa.
Sistem yang menghilangkan kontrol imigrasi di negara-negara perbatasan Uni Eropa atau dikenal dengan schengen itu berpotensi untuk dihentikan sementara waktu.
Seperti dilansir VoA, Christine Lagarde, Managing Director IMF menilai, krisis pengungsi di negara-negara Uni Eropa berpotensi mendorong perjanjian schengen untuk dihentikan atau diistirahatkan sementara waktu ini.
"Ya, saya pikir begitu. Karena, Eropa juga sedang menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak Perang Dunia II," ujarnya dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos.
Perjanjian visa schengen memungkinkan warga negara-negara zona schengen dapat keluar dan masuk tanpa ada pembatasan.
Maklum, visa schengen ini menghentikan kendali paspor dan imigrasi di perbatasan.
Padahal, aliran pengungsi di Uni Eropa jumlahnya terus bejibun.
Di Jerman saja, pengungsinya mencapai hampir 1 juta orang.
Belum termasuk negara-negara lain, seperti Jerman, Italia, dan Belanda.
Zona schengen membuat pemegang visa kerja, pelajar, turis, termasuk warga negara Indonesia bebas bepergian ke 26 negara-negara Uni Eropa.
Sayangnya, sistem ini juga memudahkan imigran, pengungsi atau pun pencari suaka asal negara konflik untuk berpindah-pindah negara demi mencari izin tinggal apabila salah satu negara telah menolaknya untuk menetap.
Manuel Valls, Menteri Luar Negeri Perancis, seperti diberitakan Telegraph menyebut, beberapa negara dikabarkan akan mulai menerapkan pemeriksaan paspor dengan ketat pada Mei 2016 mendatang.
"Arus imigran mengalami peningkatan. Puncaknya, tahun lalu. Ini membuat gagasan Uni Eropa yang kami bayangkan selama ini tercerai berai," terang Valls.
Beberapa menteri dari negara-negara yang keberatan dengan imigran menuding sistem schengen sebagai pemicu derasnya arus pengungsi masuk ke Uni Eropa.
Lebih dari satu juta imigran masuk melalui jalur ilegal.
Ironisnya, sampai saat ini tidak ada tanda-tanda jumlah imigran berkurang, meski sebagian negara Uni Eropa dilanda krisis ekonomi dan musim dingin ekstrim.
Yunani bahkan dituduh melonggarkan perbatasan, sehingga para imigram leluasa menuju negara-negara lain.
Adapun, jumlah imigran terbanyak berasal dari Suriah.
Yaitu, mencapai 38% dari total imigran yang membanjiri Uni Eropa di sepanjang tahun lalu.
Kendati demikian, tidak semuanya berstatus imigran atau pencari suaka.
Menurut Ole Schroeder, Wakil Menteri Dalam Negeri Jerman, dikutip dari Reuters, pihaknya belum melihat penurunan jumlah kedatangan imigran ke Uni Eropa, utamanya Jerman.
Ia menilai, kontrol yang lemah di perbatasan Eropa menjadi penyebab jumlah imigran yang datang semakin banyak.
"Rata-rata sebanyak 3.200 pengungsi per hari tiba di Jerman dan jumlahnya tidak menurun. Saat ini, masalah utama negara-negara Uni Eropa adalah kami tidak memiliki sistem kontrol perbatasan yang ketat, terutama di perbatasan Yunani dan Turki," imbuh Schroeder.
Jerman, Denmark dan Swedia mengklaim, ingin menjaga zona schengen.
Namun, kontrol yang efektif di perbatasan eksternal Eropa perlu ditingkatkan untuk membendung arus Imigran.
Upaya terbaru Denmark dan Swedia adalah melakukan pengecekan ketat di wilayah perbatasan.
Namun demikian, Komisi Uni Eropa mengungkapkan, upaya ini belum sepenuhnya menghasilkan kemajuan.
Maklum, dari target 11 pusat pengecekan imigran di Italia dan Yunani, saat ini baru ada tiga.
Italia menyatakan akan menambah dua pusat pengecekan imigran lagi tahun ini.
Pascal Brice, Direktur Ofra (lembaga yang bertanggungjawab atas pemberian suaka di Perancis) menuturkan, sistem di Perancis sudah siap, namun keinginan para imigran untuk memilih Jerman sebagai negara tujuan tidak bisa dikesampingkan.
Jerman menjadi negara tujuan utama para imigran dikarenakan pemerintahnya selalu bersikap positif dan ramah.
"Saat ini, sebagian besar imigran memilih Jerman dan juga Inggris," imbuh dia.
Sementara itu, Austria menjadi salah satu negara yang berteriak paling kencang karena memikul beban lebih berat akibat kenaikan jumlah imigran.
Misalnya saja, beban pembayar pajak semakin berat.
Deutsche Welle melansir sebelumnya, Turki akan mulai menjalankan politik visa bagi warga Suriah yang berusaha memasuki negaranya.
Turki merupakan salah satu gerbang para imigran untuk memasuki negara-negara Uni Eropa.
Menurut jajak pendapat yang diadakan inisiatif Suriah-Jerman bertajuk Adopt a Revolution pada Oktober 2015 lalu, sebanyak 889 imigran dari Suriah di Jerman menyatakan tidak berniat tinggal lama di Jerman.
Namun, mereka tidak ingin kembali ke Suriah.