Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tri Adi
Alakija tak lantas putus asa. Dia mencoba lagi bertemu menteri dan menawarkan layanan transportasi industri minyak dan ditolak karena pemerintah berencana mengganti truk-truk pengangkut minyak dengan saluran pipa dan justru disarankan melakukan eksplorasi minyak karena pemerintah ingin mendorong warga mengeksplorasi kekayaan alam daripada harus diambil ke asing.
Alakija terdiam dan berpikir dia sedang disindir karena dirinya tidak memiliki kemampuan di bidang itu. Dia hampir menyerah.
Namun dengan dukungan suaminya berprofesi sebagai pengacara, Alakija mulai berkonsultasi dengan teman suaminya yang berkecimpung di bisnis minyak. Akhirnya, dia memutuskan tak menyerah dan secara resmi mengajukan permohonan lisensi prospeksi minyak.
Saat semua tengah berproses, menteri perminyakan diganti. Dia mengulang lagi semua proses dari awal dengan menteri kedua. Belum rampung, menteri kembali ganti setelah terjadi pergantian pemerintahan lewat kudeta militer. Alakija tidak menyerah hingga akhirnya mendapatkan lisensi dari menteri ketiga.
Alakija akhirnya memiliki blok dan dia memilih untuk melakukan eksplorasi di lepas pantai agar tidak ada saingannya. Pada awalnya memang tidak mudah karena tidak memiliki teknologi, keahlian dan uang untuk memulai proses eksplorasi.
Lewat Famfa Oil, Alakija akhirnya bermitra dengan Texaco. Lima tahun kemudian, bermitra dengan Chevron yang mengakuisisi Texaco dan dengan Petronas. Alakija memiliki saham 60% dalam kemitraan tersebut.
Setelah sukses melakukan eksplorasi dalam enam tahun, dia diusik, setelah pemerintah mengambilalih sahamnya 50% di blok eksplorasi hingga tersisa 10%. Tidak terima karena sudah menginvestasikan segalanya untuk bisnis eksplorasi tersebut, dia memutuskan bertarung di pengadilan melawan pemerintah yang terkenal korup.
Baginya, Nigeria memiliki konstitusi dan tak seorang pun berada di atas konstitusi, termasuk pemerintah. Setelah 12 tahun bertarung, dia akhirnya kembali mendapatkan 60% sahamnya.
(Bersambung)