kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,55   2,12   0.24%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bukti baru, China langgar HAM dengan program kerja paksa terhadap 500.000 orang ini


Rabu, 23 September 2020 / 14:32 WIB
Bukti baru, China langgar HAM dengan program kerja paksa terhadap 500.000 orang ini
ILUSTRASI. ilustrasi. Bukti baru, China langgar HAM dengan program kerja paksa terhadap 500.000 orang Tibet


Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto

KONTAN.CO.ID - Canberra. Dugaan China melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kembali muncul. China dituduh melanggar HAM karena melakukan kerja paksa skala besar di Tibet. Sebelumnya, China sudah dituding Amerika Serikat dan Inggris melanggar HAM atas kaum muslim di Uighur.

Tuduhan terbaru disampaikan seorang antropolog Jerman, Dr Adrian Zenz. Ia mengklaim mempunyai bukti baru tentang program kerja paksa berskala besar di Tibet yang diterapkan oleh pemerintah China.

Melansir Sydney Morning Herald, Selasa (22/9/2020), China dilaporkan telah memaksa lebih dari 500.000 pekerja Tibet di pedesaan dalam pusat pelatihan yang dibangun sejak 7 bulan pertama tahun ini. Program itu mencerminkan apa yang diduga terjadi juga di Xinjiang barat. Penelitian Dr Zenz itu dianggap berperan penting dalam meningkatkan profil keamanan dan penahanan massal warga Uighur di provinsi Xinjiang.

Menurut laporan antropolog itu dalam situs web penelitian The Jamestown Foundation, pada tahun 2019 dan 2020, wilayah Otonomi Tibet (TAR) memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru untuk mempromosikan sistematisasi, pemusatan dan pelatihan berskala besar serta pengiriman "rural surplus labour" ke bagian lain dari TAR termasuk ke provinsi-provinsi di Republik Rakyat China lainnya.

Baca juga: Buruan daftar, lelang mobil mewah rampasan KPK ditutup Rabu (23/9), ada Toyota Crown

Rural surplus labour memaknai bahwa para pekerja paksa yang dikirim melakukan pekerjaan yang lebih atau di luar dari apa yang seharusnya mereka kerjakan. Hanya dalam waktu 7 bulan sejak awal tahun, kebijakan itu telah membuat setengah juta orang dilatih sebagai bagian dari proyek, angka itu sekitar 15 persen dari populasi wilayah Tibet.

Dari total itu, sebanyak hampir 50.000 pekerja dipekerjakan di dalam wilayah Tibet, sementara ribuan orang lainnya dikirim ke bagian lain di China. Banyak dari mereka yang berakhir dengan gaji rendah, termasuk mereka yang bekerja di bidang produksi tekstil, konstruksi dan pertanian.

Skema kebijakan ini mencakup semua orang Tibet dari segala usia, mencakup seluruh wilayah dan program ini berbeda dari pelatihan kejuruan koersif pelajar menengah dan orang dewasa muda yang dilaporkan oleh narasumber Tibet di pengasingan.

Penelitian juga mengatakan bahwa kamp pekerja paksa itu dilengkapi dengan indoktrinasi yang dipaksakan, pengawasan, dan sanksi berat bagi yang gagal memenuhi kuota pengiriman tenaga kerja.

Melansir Reuters, Beijing telah menetapkan kuota untuk pemindahan massal pekerja dari pedesaan Tibet dan untuk ke berbagai wilayah lain di China sebagai inisiatif untuk menyediakan pekerja setia kepada industri China. "Saat ini, menurut pendapat saya, (kerja paksa itu merupakan) serangan paling kuat, paling jelas dan paling terarah terhadap mata pencarian rakyat Tibet yang kita saksikan sejak Revolusi Kebudayaan tahun 1966 sampai 1976," ujar Dr Adrian Zenz dikutip Reuters.

Dr Zenz adalah seorang antropolog, peneliti Tibet dan Xinjiang independen yang menyusun temuan inti program kerja paksa itu dan merilisnya di Jamestown Foundation. "Ini adalah perubahan gaya hidup yang memaksa dari nomadisme dan bertani menjadi buruh upahan," imbuh Zenz.

Baca juga: Inilah gejala corona terbaru yang semakin aneh dan tidak terduga

Menurut Reuters, pihak Kementerian Luar Negeri China membantah keras adanya laporan soal kerja paksa itu. China mengatakan bahwa mereka adalah negara dengan aturan hukum dan para pekerja melakukan secara sukarela serta diberi kompensasi yang sesuai. “Apa yang disebut orang-orang dengan motif tersembunyi ini sebagai 'kerja paksa' (adalah) tidak ada. Kami berharap masyarakat internasional (bisa) membedakan mana yang benar mana yang salah, menghargai fakta, dan tidak tertipu oleh kebohongan,” kata pihak Kemenlu China.

Pengiriman atau pemindahan tenaga kerja pedesaan ke dalam industri diketahui merupakan bagian penting dari upaya China untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi kemiskinan. Namun, menurut para aktivis HAM, daerah seperti Xinjiang dan Tibet yang memiliki populasi etnis besar dan riwayat sejarah kerusuhan, cukup tertekan dengan adanya kebijakan dan indoktrinasi ideologis dari pemerintah China.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Antropolog Ini Bongkar Program Kerja Paksa China terhadap 500.000 Orang Tibet ",

Penulis : Miranti Kencana Wirawan
Editor : Miranti Kencana Wirawan

Selanjutnya: Pembobolan rekening nasabah BRI, 11 nasabah jadi korban, kerugian miliaran rupiah




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×