Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kapal pengangkut mobil terbesar di dunia baru saja menyelesaikan perjalanan perdananya dengan merapat di Pelabuhan Itajai, Brasil, akhir Mei lalu. Kapal raksasa setara 20 lapangan sepak bola ini membawa ribuan kendaraan—termasuk dari produsen mobil listrik asal Tiongkok, BYD.
Namun, kedatangan armada besar ini justru memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri otomotif Brasil dan serikat pekerja.
BYD dan Gelombang Ekspansi Global
BYD, produsen kendaraan listrik (EV) dan hybrid plug-in terbesar di dunia, telah mengerahkan armada kapal kargonya sendiri untuk mempercepat ekspansi ke pasar global. Brasil menjadi target utama mereka. Hingga Mei 2025, sudah empat kali kapal BYD berlabuh di negeri samba, membawa sekitar 22.000 kendaraan.
Analisis Reuters menunjukkan bahwa BYD menjadikan Brasil sebagai pijakan utama setelah menghadapi hambatan perdagangan di Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa, mobil China dikenakan bea masuk sebesar 45,3%, sementara di AS mencapai lebih dari 100%, disertai pelarangan software China di kendaraan.
Baca Juga: BYD Ambil Langkah Hukum terhadap 37 Influencer atas Dugaan Pencemaran Nama Baik
Kekhawatiran Industri Lokal: “Impor Berlebihan”
Menurut data Asosiasi Industri Otomotif Brasil (ANFAVEA), impor mobil asal China diperkirakan melonjak 40% pada 2025, mencapai 200.000 unit, atau sekitar 8% dari total registrasi mobil ringan di negara tersebut.
Pejabat industri menilai bahwa alih-alih membangun pabrik dan menyerap tenaga kerja lokal, perusahaan-perusahaan China seperti BYD justru memanfaatkan tarif rendah sementara untuk membanjiri pasar. Serikat pekerja seperti IndustriALL Brasil menyebut ini sebagai bentuk “penyalahgunaan celah kebijakan.”
“Negara lain mulai menutup pintu untuk China, tapi Brasil tidak,” kata Aroaldo da Silva, presiden IndustriALL Brasil. “China memanfaatkan itu.”
Tarif Impor dan Permintaan Percepatan Kenaikan
Brasil saat ini masih menerapkan tarif impor kendaraan listrik sebesar 10%, yang akan dinaikkan bertahap hingga 35% pada 2026. Namun, ANFAVEA dan serikat pekerja mendorong agar kenaikan ini dipercepat setahun lebih awal guna melindungi industri dalam negeri dari banjir produk asing.
Kementerian Pembangunan, Industri, dan Perdagangan Luar Negeri Brasil menyatakan bahwa permintaan percepatan tarif masih dalam tahap kajian.
Janji Pabrik Belum Terealisasi
Pada 2023, BYD sempat disambut dengan antusias saat mengumumkan pembelian bekas pabrik Ford di negara bagian Bahia. Pemerintah berharap kehadiran pabrik ini akan menciptakan lapangan kerja dan mendukung transisi energi hijau. Namun, investigasi pelanggaran tenaga kerja di lokasi konstruksi menyebabkan penundaan operasional hingga Desember 2026.
Situasi serupa juga dialami GWM (Great Wall Motors), yang menunda pembukaan pabriknya lebih dari setahun. Kini, GWM berjanji mulai produksi Haval H6 di Brasil pada Juli tahun ini, dengan menggandeng sekitar 100 pemasok lokal.
Baca Juga: Pasar Mobil Listrik (EV) Global Melaju Kencang, BYD Jadi Mesin Pertumbuhan Baru
Sebaliknya, BYD belum menunjukkan tanda-tanda pengembangan rantai pasok lokal, menurut IndustriALL.
“Kalau semua komponen dan teknologi dari luar, apa nilai tambah yang sebenarnya diberikan pabrik itu?” tegas Da Silva.
Impor Masih Mendominasi Penjualan EV
Meski terdapat kekhawatiran dari industri lokal, faktanya kendaraan listrik asal China menyumbang lebih dari 80% penjualan mobil listrik di Brasil, menurut Asosiasi Kendaraan Listrik Brasil (ABVE).
Brasil sebenarnya memiliki cadangan mineral melimpah seperti litium, namun belum memiliki infrastruktur lengkap untuk memproduksi seluruh komponen EV secara mandiri. Hal ini membuat ketergantungan pada impor tetap tinggi.