Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan China untuk memberlakukan pembatasan ekspor rare earth dan magnet sejak April lalu tidak hanya mengguncang industri otomotif global, tetapi juga menciptakan krisis di dalam negeri bagi produsen magnet lokal.
Meskipun Presiden AS Donald Trump telah mencapai kesepakatan awal dengan China pada 27 Juni untuk mencairkan kembali arus ekspor, dampaknya diperkirakan masih akan terasa dalam jangka panjang.
Ekspor Anjlok 75%, Produksi Otomotif Global Tersendat
Kebijakan pembatasan ekspor ini diambil sebagai respons terhadap tarif perdagangan Amerika Serikat, dan langsung menurunkan volume ekspor magnet China hingga 75% dalam dua bulan pertama sejak diterapkan. Beberapa pabrikan otomotif besar dunia terpaksa menghentikan sementara produksi akibat terganggunya pasokan komponen penting berbasis rare earth.
Baca Juga: China dan Uni Eropa Capai Kemajuan dalam Perdagangan, Ekspor Rare Earth Jadi Fokus
Menurut Bursa Produk Rare Earth Baotou, sebuah platform perdagangan yang didukung negara di Mongolia Dalam, stok magnet kini menumpuk di gudang karena izin ekspor belum kembali normal. "Kesepakatan dagang mungkin sudah diumumkan, tetapi implementasinya membutuhkan waktu," tulis mereka di WeChat 12 jam setelah kesepakatan AS–China diumumkan.
Penurunan Permintaan Domestik Perparah Krisis
China memproduksi sekitar 90% magnet rare earth global dan juga mengonsumsi sebagian besar hasil produksinya. Namun, berdasarkan laporan keuangan 2024 dari 11 produsen magnet terbesar di China, 18% hingga 50% dari pendapatan mereka masih bergantung pada ekspor. Artinya, kebijakan ini berdampak langsung pada kinerja keuangan mereka.
“Penjualan mereka kini tertekan dari dua sisi – ekspor terganggu dan permintaan domestik yang lesu,” ujar Ellie Saklatvala, kepala penetapan harga logam di Argus.
Beberapa produsen magnet mengaku bahwa pendapatan mereka dipastikan menurun tahun ini. "Dampaknya besar terhadap ekspor kami, meski belum bisa menghitung secara pasti seberapa besar kerugiannya," ujar salah satu produsen kepada Reuters, meminta identitasnya dirahasiakan.
Pasar Domestik Tidak Mampu Menyerap Produksi
Kondisi pasar dalam negeri yang lemah, diperburuk oleh perang harga antar produsen kendaraan listrik (EV), semakin menyulitkan produsen magnet. Banyak pabrikan EV menuntut potongan harga dari pemasoknya.
Selain itu, karena magnet-magnet ini biasanya dibuat khusus untuk tiap pesanan (customized), mereka tidak bisa dengan mudah dijual kembali ke pasar domestik. Akibatnya, produk jadi hanya bisa disimpan sambil menunggu izin ekspor.
Menurut data dari sumber industri, produsen kecil dan menengah telah mengurangi produksi sebesar 15% pada April dan Mei.
Konsolidasi Industri Diprediksi Tak Terelakkan
Dengan ratusan pabrikan magnet yang tersebar di China, tekanan akibat ekspor yang tersendat bisa mendorong konsolidasi industri. Menurut David Abraham, profesor afiliasi di Boise State University, ini bisa saja menjadi bagian dari strategi terselubung pemerintah.
Baca Juga: Balas Tarif Trump, China Batasi Ekspor Rare Earth, Industri AS Alami Kepanikan
“Saya tidak tahu apakah Beijing menganggap konsolidasi sebagai hal negatif, karena konsolidasi bisa membantu pemerintah dalam mengontrol dan melacak arus material,” ujarnya.
Belajar dari Kasus Antimony dan Germanium
Kasus ekspor antimony dan germanium yang juga dibatasi oleh China sejak 2023 menunjukkan bahwa pemulihan ekspor bisa memakan waktu lama.
Data bea cukai China mencatat bahwa ekspor antimony ke Eropa belum kembali ke level normal, bahkan setelah berbulan-bulan pembatasan diberlakukan. Industri baterai asam timbal—yang masih umum digunakan pada mesin bensin—terkena imbas langsung akibat kekurangan pasokan.
“Melihat pola pembatasan mineral lain, jelas bahwa ekspor tidak akan kembali normal dalam waktu dekat,” tambah Saklatvala dari Argus.
Selain waktu tunggu, produsen juga dihadapkan pada persyaratan dokumen ekspor yang jauh lebih rumit, sehingga menambah biaya dan beban administratif.