Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ambisi Jepang untuk menjadi kekuatan global dalam produksi logam tanah jarang (rare earth) semakin mendapat sorotan. Ketika China memperketat cengkeramannya atas rantai pasok global, Jepang berupaya menggali potensi besar yang tersembunyi di dasar lautnya sendiri.
Langkah China yang membatasi ekspor tujuh elemen rare earth penting pada April lalu dinilai sebagai strategi geopolitik untuk menekan Amerika Serikat dan sekutunya. Walau Beijing menyatakan bahwa permohonan ekspor masih bisa diajukan, kenyataannya persyaratan yang sangat ketat telah menghentikan hampir seluruh aliran pasokan.
Elemen-elemen seperti dysprosium dan terbium, yang krusial dalam produksi magnet berkinerja tinggi untuk kendaraan listrik (EV), turbin angin, dan sistem pertahanan canggih, kini sulit diakses oleh negara-negara Barat.
Baca Juga: China dan Uni Eropa Capai Kemajuan dalam Perdagangan, Ekspor Rare Earth Jadi Fokus
“Ini bukan soal kemampuan China menambang, tetapi siapa yang mereka izinkan untuk mendapatkan akses,” ujar Tomoji Ohara dari Sasakawa Peace Foundation dikutip dari newsonjapan.
Akibat pembatasan ini, sejumlah produsen otomotif AS melaporkan keterlambatan produksi karena kekurangan material. Di Jepang, perusahaan-perusahaan menghadapi pembatalan kontrak karena dokumen tambahan yang kini diwajibkan oleh eksportir China.
Harta Karun Rare Earth di Dasar Laut Jepang
Namun Jepang memiliki harapan baru: endapan lumpur laut kaya rare earth yang ditemukan pada tahun 2012 di sekitar Pulau Minamitorishima, pulau paling timur dalam wilayah Jepang.
Dipimpin oleh Profesor Kentaro Nakamura dari Universitas Tokyo, tim peneliti menemukan bahwa lumpur laut dalam di kawasan tersebut mengandung semua tujuh elemen rare earth yang kini dikendalikan oleh China, dengan konsentrasi jauh lebih tinggi dibanding sumber darat.
“Bahkan di area kecil saja, kami menemukan lebih dari 16 juta ton lumpur yang kaya rare earth,” jelas Nakamura. “Jika seluruh Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) disurvei, Jepang bisa memiliki cadangan terbesar di dunia.”
Tantangan Teknologi dan Investasi
Meski menjanjikan, penambangan dari kedalaman 6.000 meter bukanlah hal mudah. Jepang telah menguji sistem pengambilan lumpur pada kedalaman 2.000 meter dan tahun ini berencana menguji coba hingga 6.000 meter di dekat Minamitorishima.
Konsorsium yang melibatkan lembaga pemerintah dan perusahaan teknik seperti Toyo Engineering sedang mengembangkan teknologi khusus untuk mengaduk dan memompa lumpur kental ke permukaan.
Keunggulan lainnya, lumpur laut Jepang bebas dari zat radioaktif seperti torium yang sering ditemukan pada tambang darat milik China, sehingga lebih ramah lingkungan dan mudah dikelola secara regulasi.
Baca Juga: Balas Tarif Trump, China Batasi Ekspor Rare Earth, Industri AS Alami Kepanikan
Persaingan Memanas: China Bergerak Dekat Wilayah Jepang
Namun Jepang tidak sendirian dalam melihat potensi ini. Dua kapal induk China baru-baru ini terpantau berlayar dekat Minamitorishima, masih dalam wilayah ZEE Jepang. Citra satelit dan pelacakan maritim menunjukkan aktivitas survei dasar laut oleh China yang semakin intens, bahkan China telah memperoleh hak eksplorasi nodul polimetalik dari lembaga internasional.
Media pemerintah China juga mulai mempertanyakan kedaulatan Jepang atas pulau-pulau terpencil seperti Minamitorishima, memberi sinyal potensi sengketa geopolitik di masa depan.
Yutaka Yoshitake, editor Rare Metal Weekly, memperingatkan bahwa Jepang tak boleh terlalu lamban. “Jika China lebih dulu membuktikan kemampuannya menambang laut dalam, mereka akan menetapkan preseden global,” ujarnya.
Profesor Nakamura menegaskan pentingnya langkah cepat dari Jepang. “Saat ini Jepang masih memiliki rantai pasok lengkap—dari ekstraksi, pemrosesan, hingga manufaktur magnet dan produk akhir. Ini peluang langka yang tak boleh disia-siakan.”