Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - RIO DE JANEIRO. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengancam akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara yang dianggap "bersekutu" dengan kebijakan anti-Amerika dari kelompok BRICS, seiring dimulainya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil pada Minggu (6/7).
Melalui unggahan di platform Truth Social, Trump menegaskan, “Negara mana pun yang menyelaraskan diri dengan kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10%. Tidak akan ada pengecualian untuk kebijakan ini.”
Baca Juga: Trump Sebut Hampir Rampungkan Sejumlah Kesepakatan Dagang, Tarif Baru Mulai 1 Agustus
Trump tidak merinci lebih lanjut kebijakan seperti apa yang dianggap “anti-Amerika”.
Namun pernyataan ini disampaikan beberapa jam setelah BRICS, kelompok negara berkembang yang kini diperluas mencakup Indonesia merilis pernyataan bersama yang mengkritik meningkatnya tarif global dan menyerukan reformasi lembaga-lembaga internasional.
BRICS Perluas Peran dan Cakupan
KTT BRICS tahun ini diselenggarakan di Museum Seni Modern, Rio de Janeiro, Brasil, dengan tema besar mendorong kerja sama global selatan serta reformasi tata kelola global.
Dalam pidato pembukaannya, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva menyebut BRICS sebagai penerus gerakan Non-Blok pada era Perang Dingin.
“Dengan multilateralisme yang terus mendapat tekanan, otonomi kita kembali dipertaruhkan,” kata Lula.
Baca Juga: Hadiri KTT BRICS 2025, Prabowo Tegaskan Posisi Strategis Indonesia di Tingkat Global
Ia menyoroti pentingnya BRICS dalam menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang di tengah polarisasi geopolitik dan perang dagang.
Lula juga menegaskan, BRICS kini mewakili lebih dari 50% populasi dunia dan sekitar 40% output ekonomi global.
Indonesia Hadiri KTT BRICS Pertama Kalinya
Tahun ini menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia yang hadir untuk pertama kalinya sebagai anggota resmi BRICS bersama negara anggota baru lainnya: Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Baca Juga: Putin ke BRICS: Saatnya Negara Berkembang Ambil Alih Ekonomi Dunia
Total anggota BRICS kini berjumlah 11 negara, setelah sebelumnya hanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Meskipun BRICS semakin kuat secara diplomatik, sejumlah analis mempertanyakan konsistensi arah dan kepentingan di antara negara anggotanya yang sangat beragam, termasuk di antaranya rival regional dan kekuatan besar yang kerap bersaing di forum internasional.
Kecaman terhadap Serangan di Gaza dan Iran
Dalam pernyataan bersama, para pemimpin BRICS mengutuk serangan terhadap infrastruktur sipil dan fasilitas nuklir damai di Iran, menyebutnya sebagai pelanggaran hukum internasional.
Mereka juga menyuarakan “keprihatinan mendalam” atas kondisi kemanusiaan di Gaza akibat serangan Israel.
Baca Juga: KTT BRICS di Rio Serukan Reformasi Global dan Bela Multilateralisme
BRICS juga mendukung aksesi Iran dan Ethiopia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan menyerukan pemulihan fungsi penyelesaian sengketa dagang di lembaga tersebut yang kini macet.
Respon terhadap AI dan Iklim
Dalam diskusi terpisah mengenai kecerdasan buatan (AI), para pemimpin BRICS menyerukan pengawasan ketat atas penggunaan AI yang tidak sah dan pentingnya mekanisme imbal hasil yang adil atas data yang dikumpulkan.
Terkait perubahan iklim, Brasil memanfaatkan KTT BRICS sekaligus sebagai pembuka jalan menuju COP30 (KTT Iklim PBB) yang juga akan digelar di Brasil pada November mendatang.
China dan Uni Emirat Arab bahkan telah menyampaikan minat berinvestasi dalam inisiatif konservasi hutan tropis yang digagas Brasil, Tropical Forests Forever Facility.
Baca Juga: BRICS Dorong Reformasi Besar di Badan IMF
Tensi Dagang Meningkat
Ancaman tarif tambahan dari Trump ini menambah tensi dagang menjelang tenggat 9 Juli 2025, saat pemerintah AS dijadwalkan mengumumkan putaran baru tarif balasan terhadap negara-negara yang belum mencapai kesepakatan dagang bilateral.
Kebijakan “America First” dan langkah-langkah proteksionis Trump telah lama menjadi sorotan dan menuai kritik dari berbagai negara, termasuk dalam forum multilateral seperti G20.