Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Intelijen AS kembali menaruh curiga pada China. Kali ini, mereka menduga China telah memasok sejumlah teknologi untuk mendukung operasi militer Rusia di Ukraina.
Pada hari Kamis (27/7), Komite Intelijen Permanen DPR AS merilis laporan Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODNI). Dalam penilaian itu, China disebut menyediakan beberapa teknologi yang digunakan militer Rusia selama perang di Ukraina.
"Republik Rakyat China telah menyediakan beberapa teknologi dual-use yang digunakan militer Moskow untuk melanjutkan perang di Ukraina, meskipun ada sanksi internasional dan kontrol ekspor," tulis laporan tersebut, dikutip Reuters.
China telah berulang kali membantah tuduhan yang menyebut mereka mengirim peralatan militer ke Rusia sejak invasi Rusia ke Ukraina dimulai Februari 2022.
Baca Juga: Vladimir Putin Terima Undangan Xi Jinping, Bakal ke China Bulan Oktober
Menurut laporan ODNI, ada perusahaan China yang telah mengirim berbagai teknologi pendukung militer seperti keperluan navigasi hingga suku cadang jet tempur.
"Catatan pabean menunjukkan perusahaan pertahanan milik negara China mengirimkan peralatan navigasi, teknologi jamming, dan suku cadang jet tempur ke perusahaan pertahanan milik pemerintah Rusia yang sedang dikenai sanksi," kata laporan itu.
ODNI mengatakan, China dan Rusia telah meningkatkan pangsa perdagangan bilateral dalam mata uang yuan China. Lembaga keuangan kedua negara juga disebut telah memperluas penggunaan sistem pembayaran domestik mereka.
Baca Juga: AS Segera Umumkan Bantuan Militer Baru untuk Taiwan, Nilainya Mencapai US$330 Juta
"China telah meningkatkan impor ekspor energi Rusia, termasuk minyak dan gas yang dialihkan dari Eropa," lanjut laporan tersebut.
Dugaan serupa juga sempat datang dari Prancis. Awal bulan ini, penasihat diplomatik utama Presiden Prancis Emmanuel Macron, Emmanuel Bonne, mengatakan China mengirimkan barang-barang yang dapat digunakan sebagai peralatan militer ke Rusia, meskipun tidak dalam skala besar.
Meski terus menyampaikan tuduhan, pihak AS juga mengakui bahwa hingga saat ini mereka belum melihat bukti transfer bantuan yang bersifat mematikan di medan perang.