Sumber: Al Jazeera | Editor: Khomarul Hidayat
Menanggapi kekhawatiran itu, juru bicara kementerian luar negeri China Hua Chunying mengatakan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan praktik internasional.
Artikel pertama dari RUU tersebut menjelaskan bahwa hukum diperlukan untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan hak maritim China.
Undang-undang ini muncul tujuh tahun setelah China menggabungkan beberapa badan penegak hukum maritim sipil untuk membentuk biro penjaga pantai.
Setelah biro berada di bawah komando Polisi Bersenjata Rakyat pada tahun 2018, biro tersebut menjadi cabang kekuatan militer yang tepat.
Langkah terbaru China juga dapat memperumit hubungannya dengan Amerika Serikat, yang mempertahankan aliansi strategis dengan beberapa negara Asia-Pasifik, termasuk Jepang, Filipina, Vietnam, dan Indonesia, yang memiliki klaim maritim yang bersaing dengan China.
Dalam sebuah posting media sosial, Christian Le Miere, seorang analis diplomasi maritim dan pendiri grup Arcipel yang berbasis di London dan Den Haag mengatakan, undang-undang baru China itu "menyerang jantung" kebijakan kebebasan navigasi AS di Laut Cina Selatan.