kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Di China, Tingkat Perkawinan Turun dan Harga Pengantin Semakin Mahal


Senin, 27 Maret 2023 / 07:31 WIB
Di China, Tingkat Perkawinan Turun dan Harga Pengantin Semakin Mahal
ILUSTRASI. Di China, tingkat pernikahan mengalami penurunan tajam, dan harga pengantin alias biaya pernikahan semakin melonjak.


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Inilah permasalahan kependudukan terbaru yang dialami China. Yakni, tingkat pernikahan mengalami penurunan tajam, dan harga pengantin alias biaya pernikahan semakin melonjak. 

Melansir Bloomberg, pemerintah China tengah berupaya keras untuk mengatasi hal tersebut. Terbaru, sebagai upaya untuk meningkatkan angka kelahiran yang lesu, China melakukan tindakan keras terhadap kebiasaan pernikahan yang mahal. 

Namun, hanya sedikit orang - termasuk para pejabat itu sendiri - yang melihat kebijakan tersebut akan membuat perbedaan.

Hadiah pertunangan, atau caili, adalah tradisi di mana calon pengantin pria membayar "harga pengantin" kepada keluarga wanita untuk menunjukkan ketulusan dan kekayaannya, sekaligus memberi kompensasi kepada mereka karena membesarkan anak perempuan di negara yang telah lama menyukai anak laki-laki. 

Menurut survei terhadap 1.846 penduduk yang dilakukan oleh Tencent News pada tahun 2020, hampir tiga perempat pernikahan di China melibatkan kebiasaan tersebut. Keluarga diharapkan membayar puluhan ribu dolar, kelipatan dari pendapatan tahunan mereka.

Ini bukan pertama kalinya pihak berwenang membidik praktik tersebut. Akan tetapi, sekarang ada kebijakan keras baru terhadap tradisi tersebut karena China mencoba untuk mendongkrak kembali penurunan demografisnya. 

Baca Juga: Xi Jinping Meninggalkan Moskow, Drone Rusia Gempur Ukraina

Pasalnya, penurunan populasi yang lebih cepat dari perkiraan berarti menyusutnya tenaga kerja, turunnya permintaan konsumen, dan meningkatnya tekanan pada sistem perawatan kesehatan.

Kurang dari sebulan setelah China membukukan penurunan populasi pertamanya dalam 60 tahun, kepala badan pengembangan keluarga meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah "berani dan kreatif" untuk mendorong kelahiran. Semakin tidak terjangkaunya pernikahan, terutama pada saat pertumbuhan ekonomi melambat, dipandang sebagai salah satu alasan utama mengapa semakin sedikit orang yang menikah dan memiliki anak.

Pada bulan Januari, provinsi Hebei tengah mulai menindak apa yang disebutnya "tradisi pernikahan yang jelek", yang selain caili juga termasuk permainan pernikahan yang kasar. 

Kabupaten di provinsi pesisir Jiangsu memulai kampanye bulan lalu untuk mencari "ibu mertua tercantik" yang tidak meminta terlalu banyak uang. 

Sebuah kota di Jiangxi membuat wanita lajang menandatangani surat pada bulan Februari berjanji untuk tidak meminta caili yang terlalu tinggi.

Baca Juga: China Targetkan Pertumbuhan Ekonomi Moderat Sebesar 5% Pada Tahun 2023

Sementara ibu kota provinsi mengadakan pernikahan massal pada Hari Perempuan Internasional dengan slogan: "Kami ingin kebahagiaan bukan mahar pengantin."

Serangkaian perubahan kebijakan terbaru lainnya mencerminkan tekad China untuk menaikkan angka kelahiran. Misalnya saja, pejabat meningkatkan subsidi untuk bayi yang baru lahir, mempromosikan cuti menikah bagi pekerja dan bahkan melonggarkan aturan untuk mengizinkan pasangan yang belum menikah untuk mendaftarkan anak mereka. 

Tetapi langkah-langkah dangkal ini cenderung menguntungkan laki-laki, di tengah retorika Presiden Xi Jinping yang mendorong perempuan untuk kembali ke peran gender tradisional sambil menjauhkan perempuan dari kekuasaan di puncak politik.

"Ada sedikit harapan untuk membalikkan penurunan kelahiran kecuali masalah yang mengakar seperti ketidaksetaraan gender ditangani," kata Feinian Chen, seorang profesor riset demografi di University of North Carolina di Chapel Hill. 

Dia menambahkan, "Dengan wanita yang masih diharapkan menjadi pengasuh utama, peluang untuk memiliki lebih banyak anak atau memiliki anak sama sekali terlalu tinggi."

Masalah caili dapat ditelusuri kembali ke kebijakan satu anak China, yang menyebabkan surplus laki-laki yang sangat besar. 

Ketidakseimbangan gender itu berarti keluarga mempelai wanita seringkali dapat meminta harga yang lebih tinggi. Keluarga mempelai wanita juga sering membayar mahar kepada keluarga mempelai pria, meski pihak berwenang belum membidik adat tersebut.

Pihak berwenang mencoba membingkai praktik tersebut sebagai peninggalan kuno yang perlu disingkirkan, tetapi mengubah pikiran orang mungkin terbukti sulit.

"Hadiah pertunangan dipandang sebagai prestise ekonomi pernikahan, yang tanpanya orang bahkan mungkin kehilangan selera untuk menikah," kata Kailing Xie, dosen studi gender di University of Birmingham. 

Baca Juga: China Targetkan Pertumbuhan Ekonomi Moderat Sebesar 5% Pada Tahun 2023

Melansir The New York Times, tradisi tersebut telah menghadapi perlawanan publik yang semakin besar karena adanya perubahan sikap di masyarakat. 

Di antara masyarakat China yang lebih berpendidikan, terutama di kota-kota, banyak yang cenderung melihatnya sebagai peninggalan patriarkal yang memperlakukan perempuan sebagai properti yang dijual ke rumah tangga lain. Di daerah pedesaan di mana adat cenderung lebih umum, itu juga tidak disukai di kalangan petani miskin yang harus menabung pendapatan beberapa tahun atau berhutang untuk menikah.

Meski begitu, kampanye pemerintah menuai kritik karena memperkuat stereotip seksis terhadap perempuan. Sejumlah media China, dalam menggambarkan masalah pembayaran pernikahan yang meningkat, sering menggambarkan wanita yang mencari uang dalam jumlah besar sebagai orang yang tamak.

Banyak komentator yang mempertanyakan mengapa beban penyelesaian masalah jatuh pada perempuan. Beberapa komentator mendesak pejabat untuk mengadakan pertemuan serupa bagi pria untuk mengajari mereka bagaimana menjadi pasangan yang lebih setara dalam pernikahan.

"Di China, seperti kebanyakan kebijakan negara tentang pernikahan, wanita adalah target utamanya,” kata Gonçalo Santos, seorang profesor antropologi yang mempelajari China pedesaan di Universitas Coimbra, di Portugal. 

“Ini adalah seruan paternalistik bagi perempuan untuk menjaga ketertiban dan keharmonisan sosial, untuk memenuhi peran mereka sebagai istri dan ibu.”

Dengan menyasar perempuan, hal ini mengesampingkan fakta bahwa masalah tersebut sebagian disebabkan oleh pemerintah sendiri. Selama empat dekade kebijakan satu anak, orang tua sering lebih memilih anak laki-laki, mengakibatkan rasio gender yang timpang yang meningkatkan persaingan untuk mendapatkan istri.



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×