kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.505.000   -15.000   -0,99%
  • USD/IDR 16.295   -200,00   -1,24%
  • IDX 6.977   -130,64   -1,84%
  • KOMPAS100 1.042   -22,22   -2,09%
  • LQ45 818   -15,50   -1,86%
  • ISSI 213   -3,84   -1,77%
  • IDX30 417   -9,14   -2,14%
  • IDXHIDIV20 504   -9,85   -1,92%
  • IDX80 119   -2,45   -2,02%
  • IDXV30 125   -2,38   -1,87%
  • IDXQ30 139   -2,59   -1,83%

Di Tengah Ketegangan, Perusahaan Besar AS Gencar Ekspansi ke China


Senin, 27 Februari 2023 / 09:01 WIB
Di Tengah Ketegangan, Perusahaan Besar AS Gencar Ekspansi ke China
ILUSTRASI. Perusahaan besar AS meningkatkan taruhan mereka pada konsumen China. REUTERS/Jason Lee


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Di tengah hubungan yang menegang antara Amerika dan China, perusahaan besar AS -mulai dari makanan cepat saji hingga perusahaan mode kelas atas- meningkatkan taruhan mereka pada konsumen China. Langkah tersebut diambil untuk mengantisipasi pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia pascapandemi.

Melansir Wall Street Journal, McDonald's Corp dan Starbucks Corp berencana membuka ratusan restoran baru di Negeri Panda.

Demikian pula halnya dengan Ralph Lauren Corp dan Tapestry Inc pemilik merek Coach dan Kate Spade. Mereka akan meluncurkan gerai baru di China.

Dan Tyson Foods Inc dan Hormel Foods Corp dikabarkan akan membuka fasilitas baru, karena mereka melihat selera jangka panjang untuk makanan ala Amerika di negara tersebut.

Investasi asing mulai berdatangan saat para pemimpin China mengatakan kepada dunia bahwa pintu mereka terbuka untuk bisnis asing. Gebrakan ini mengikuti dicabutnya kebijakan "nol Covid" yang sudah berlaku selama beberapa tahun terakhir yang sangat mengisolasi China dan memicu kemerosotan ekonomi terburuk dalam beberapa dekade.

Baca Juga: CIA: China Masih Memiliki Keraguan untuk Menyerang Taiwan

Terlepas dari undangan tersebut, banyak perusahaan tetap berhati-hati tentang China, karena ketidakpastian terus berlanjut atas kesehatan ekonominya. Selain itu, persaingan geopolitik yang semakin dalam dengan AS menjerat perusahaan dan produsen teknologi.

Kendati demikian, banyak perusahaan yang meningkatkan komitmen mereka ke konsumen China. Mereka masih memandang pasar China yang sangat besar sebagai taruhan jangka panjang yang menjanjikan, bahkan meskipun penjualan terpukul selama era nol-Covid.

“Saya lebih percaya diri dari sebelumnya bahwa kami masih berada di tahap awal kisah pertumbuhan kami di China,” kata Howard Schultz, kepala eksekutif sementara dan pemimpin lama Starbucks, pada awal bulan ini. 

Perusahaan berencana untuk membuka 3.000 gerai baru pada tahun 2025, meskipun penjualan toko yang sama di negara tersebut turun 42% pada bulan Desember dan 15% pada bulan Januari dari tahun sebelumnya. 

Baca Juga: Militer China Ingin Melakukan Serangan Cepat ke Taiwan, Tapi Ini Tantangannya

Schultz mengatakan, dia merencanakan kunjungan pertamanya ke negara itu dalam beberapa tahun terakhir pada musim semi.

Hubungan antara AS dan China sedang surut dan harapan baru-baru ini untuk melakukan perbaikan hubungan telah rusak akibat kasus balon China di langit AS dan sikapnya atas perang Rusia di Ukraina.

Perusahaan-perusahaan Amerika juga menghadapi pengawasan yang lebih ketat di dalam negeri atas transaksi mereka di China. Selain itu, Washington dalam beberapa tahun terakhir telah membatasi aktivitas beberapa sektor bisnis di sana, dari perusahaan chip hingga produsen pakaian jadi.

Hubungan AS dan China

Sementara itu, berdasarkan survei terbaru, ketegangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat semakin berdampak negatif pada bisnis di China selatan dibandingkan dengan dua tahun terakhir.

Mengutip South China Morning Post, menurut Kamar Dagang Amerika (AmCham) di Cina Selatan, sekitar 90% perusahaan yang ikut serta dalam survei mengatakan sengketa perdagangan AS-Tiongkok "sangat mungkin" meluas tahun ini, dengan 64% perusahaan memperkirakan dampaknya pada bisnis akan bertahan lebih dari dua tahun.

Menurut laporan khusus tentang keadaan bisnis yang dirilis pada Senin, tarif perang perdagangan AS berdampak negatif pada hampir 60% perusahaan di China selatan tahun lalu, dibandingkan dengan 55% pada 2021 dan 53% pada 2020. 

Laporan ini mensurvei 210 perusahaan pada bulan Desember sebelum China sepenuhnya melonggarkan kebijakan nol-Covid-nya.

Baca Juga: Taiwan Menyebut China Belajar dari Invasi Rusia ke Ukraina

Responden terdiri dari 40% perusahaan yang seluruhnya dimiliki asing, 18% usaha patungan, dan 38% perusahaan China.

Catatan saja, menurut laporan tersebut, surplus perdagangan China dengan AS melonjak ke rekor tertinggi sebesar US$ 877,6 miliar tahun lalu, dengan investasi asing langsung yang benar-benar digunakan meningkat sebesar 8% dalam basis tahunan menjadi US$ 189,13 miliar.



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×