Sumber: Wall Street Journal,CNBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Ultimatum mengejutkan ini mengingatkan pada hal yang dilakukan Arab Saudi pada November 2014. Pada waktu itu, Arab Saudi secara efektif membubarkan kartel, dan membanjiri dunia dengan minyak dengan harapan membuat produsen minyak serpih (shale oil) keluar dari bisnis. Namun, upaya itu gagal total.
Baca Juga: Marah besar, Arab Saudi ancam akan membanjiri pasar minyak jika...
Saudi Arabia merasa keberatan dengan harga minyak yang rendah dan anggota kartel yang tidak mematuhi pemotongan produksi kolektif yang mereka sepakati pada musim panas lalu. Akibatnya, Saudi mempertimbangkan langkah-langkah radikal, termasuk pakta baru seperti memperdalam pengurangan produksi meskipun Arab Saudi mengabaikan batas produksi yang dipaksakan sendiri kepada masing-masing negara anggota OPEC.
Catatan saja, data CNBC menunjukkan, harga minyak mentah Brent diperdagangkan pada level US$ 63,53 pada Kamis sore waktu New York, atau naik 0,8%. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS berada di level US$ 58,76, atau sekitar 0,5% lebih tinggi.
Baca Juga: OPEC pangkas produksi, nilai impor minyak Indonesia bisa meningkat
Harga minyak telah mengalami reli dalam sesi perdagangan baru-baru ini, didorong oleh meningkatnya spekulasi tentang potensi pengurangan produksi yang lebih dalam.
Kendati demikian, harga minyak mentah berjangka Brent masih lebih rendah 15% bila dibandingkan dengan puncaknya pada bulan April. Sementara, harga minyak WTI lebih rendah 12% dibandingkan periode yang sama.