Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Donald Trump kembali memicu perdebatan setelah menerbitkan perintah eksekutif yang melarang pengibaran bendera Pride and Black Lives Matter di fasilitas pemerintah Amerika Serikat, termasuk kedutaan besar dan konsulat di luar negeri.
Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan "one flag policy" yang diumumkan oleh Departemen Luar Negeri, yang hanya mengizinkan pengibaran tiga jenis bendera selain bendera nasional Amerika Serikat, yaitu:
- Bendera Prisoner of War (POW)
- Bendera Missing in Action (MIA)
- Bendera Hostage of Wrongful Detainee
Baca Juga: Donald Trump Cabut Kebijakan Bersejarah, Duka Bagi Pejuang Kesetaraan Pekerja!
Isi Kebijakan Baru
Mengutip unilad, kebijakan tersebut mulai berlaku segera setelah diumumkan pada 20 Januari 2025, dan disahkan dengan suara bulat oleh Senat AS dengan hasil 99-0. Menurut laporan The Washington Free Beacon, kebijakan ini menyatakan:
"Mulai sekarang, hanya bendera Amerika Serikat yang diizinkan untuk dikibarkan atau ditampilkan di fasilitas AS, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dan menjadi satu-satunya simbol yang ditampilkan dalam konten pemerintah AS."
Sebagai konsekuensi, pengibaran bendera Pride and Black Lives Matter di gedung pemerintah, termasuk kedutaan besar, kini dilarang. Pegawai Departemen Luar Negeri yang melanggar kebijakan ini terancam sanksi berat, termasuk pemutusan hubungan kerja, pemutusan kontrak, atau dipulangkan ke lembaga asal.
Baca Juga: Trump Beri Pengampunan kepada 2 Polisi yang Dihukum atas Kematian Pria Kulit Hitam
Sejarah Pengibaran Bendera Pride and Black Lives Matter
Sebelum kebijakan ini diterapkan, bendera Pride and Black Lives Matter kerap dikibarkan di gedung-gedung resmi AS sebagai bentuk dukungan terhadap isu keberagaman dan hak asasi manusia. Contohnya:
- Kedutaan Besar AS di Brasil mengibarkan bendera BLM pada Februari 2022 untuk memperingati Black History Month.
- Bendera Pride pernah dikibarkan di Gedung Putih, Kedutaan Besar AS di Moskow, dan Kedutaan Besar AS di Riga untuk memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia.
Namun, kebijakan baru ini secara tegas mengakhiri praktik tersebut, dengan menekankan bahwa hanya bendera nasional AS yang dianggap sebagai simbol resmi yang mewakili negara.
Reaksi dan Kritik terhadap Kebijakan
Kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama aktivis hak asasi manusia dan kelompok LGBTQ+. Kevin Jennings, CEO Lambda Legal, menyebut langkah ini sebagai tindakan "kecil dan tidak berperasaan":
"Mengibarkan bendera seperti itu adalah sinyal kepada masyarakat bahwa mereka dihargai. Hal ini tidak menyakiti siapa pun. Kita memiliki tantangan yang jauh lebih besar sebagai bangsa, dan kebijakan ini hanyalah pengalihan kecil yang tidak penting."
Di media sosial, banyak pengguna mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap kebijakan ini. Seorang pengguna Twitter menyebutnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sementara yang lain berpendapat bahwa kebijakan ini melanggar kebebasan berekspresi.
Baca Juga: Claudia Sheinbaum Tegas Menolak Perintah Donald Trump Mengganti Nama Teluk Meksiko
Sebaliknya, kebijakan ini mendapatkan dukungan dari tokoh konservatif seperti Menteri Luar Negeri Marco Rubio. Ia menyatakan bahwa bendera nasional AS adalah simbol kebanggaan yang seharusnya menjadi satu-satunya bendera resmi yang dikibarkan:
"Bendera AS adalah simbol kebanggaan yang kuat, dan sangat tepat serta hormat jika hanya bendera AS yang dikibarkan di fasilitas pemerintah."