Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menandatangani kebijakan baru untuk melindungi perusahaan teknologi Amerika Serikat (AS) dari pajak dan aturan asing yang dianggap tidak adil.
Pemerintah Trump berencana mengambil langkah tegas, seperti memberlakukan tarif untuk melawan pajak layanan digital (digital services tax/DST) dan kebijakan lain yang merugikan perusahaan AS, seperti Google, Amazon dan lainnya.
Pajak ini memungkinkan negara asing menarik pajak dari perusahaan teknologi Amerika hanya karena mereka beroperasi di negara tersebut, meskipun tidak memiliki kantor fisik disana.
"Presiden Trump tidak akan mengizinkan pemerintah asing mengambil alih basis pajak Amerika untuk keuntungan mereka sendiri," tulis pernyataan resmi Gedung Putih (White House), dikutip Senin (24/2).
Baca Juga: Balas Trump, China Umumkan Kenaikan Tarif Produk AS dan Memulai Penyelidikan Google
Sebagai bagian dari kebijakan ini, Trump meminta Perwakilan Dagang AS (USTR) untuk menyelidiki kembali pajak DST yang perbah dibahas pada masa kepemimpinan sebelumnya.
Pemerintah juga akan memeriksa apakah kebijakan di Uni Eropa dan Inggris membatasi kebebasan berbicara atau mendukung sensor terhadap perusahaan Amerika.
Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan Amerika diatur oleh hukum AS, bukan oleh negara asing.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara mitra dagang Amerika mulai menerapkan DST untuk meningkatkan pemasukan mereka yang mengakibatkan perusahaan teknologi AS harus membayar miliaran dolar setiap tahun.
Selain DST, perusahaan AS juga menghadapi berbagai aturan dan denda yang merugikan bisnis mereka. Hal ini membuat daya saing ekonomi AS di pasar global menjadi lemah.
Diberitakan KONTAN sebelumnya, penolakan AS terhadap Pilar Dua Pajak Minimum Global yang diinisiasi OECD mulai mempengaruhi negara-negara yang sudah mengimplementasikan kebijakan tersebut, termasuk Indonesia.
Resistensi Amerika terhadap Pilar Dua ini berpotensi memberikan dampak, khususnya terkait dengan aturan Undertaxed Payment Rule (UTPR).
"Sejauh ini memang kelihatannya kebijakan yang mendapat resisten dari Amerika adalah terkait UTPR," ujar International Tax Analyst di DJP Kemenkeu, Johanes Glorinus Saragih dalam acara Webinar Bijak yang diselenggarakan MUC Consulting, Senin (17/2).
Baca Juga: Perang Dagang Berkobar, Tiongkok Bidik Google dan Perusahaan AS Lainnya
Menurut Johannes, meski Indonesia belum menerapkan UTPR, dan diperkirakan baru berlaku di 2026, pemerintah saat ini masih dalam fase wait and see memantau perkembangan lebih lanjut mengenai tindakan Amerika yang mungkin mempengaruhi implementasi Pilar Dua.
Pasalnya, sejauh ini penolakan AS terkait Pilar Dua masih bersifat umum dan belum ada tindakan nyata yang dapat diukur.
"Untuk Indonesia sendiri karena UTPR masih berlaku tahun 2026, masih selama setahun lagi, kita juga sama masih wait and see apa tindakan nyata yang akan dilakukan oleh Amerika terkait Pilar Dua ini," katanya.