Sumber: livemint.com | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat terpilih, Donald J. Trump, telah menunjuk Tulsi Gabbard, mantan anggota kongres dari Partai Demokrat yang kini beralih ke Partai Republik, sebagai Direktur Intelijen Nasional.
Trump memuji pengalaman Gabbard sebagai veteran perang dan dukungannya yang meluas di kedua partai, sebuah nilai tambah yang ia yakini akan membantu memperkuat tim intelijen dan keamanan nasional di bawah pemerintahannya.
Gabbard, bersama John Ratcliffe yang ditunjuk sebagai Direktur CIA, akan menjadi penasihat utama intelijen di Gedung Putih.
Profil dan Perjalanan Politik Tulsi Gabbard
Tulsi Gabbard, seorang Amerika keturunan Samoa, pernah menjadi anggota Kongres yang mewakili Hawaii dari 2013 hingga 2021. Sebelum menjadi anggota Partai Republik, Gabbard berkarier sebagai Demokrat dan bahkan sempat mencalonkan diri sebagai kandidat presiden pada tahun 2020.
Baca Juga: Trump dan Sejumlah Penyebab Ini Bikin Prospek Kripto Kian Semarak
Namun, pada Oktober tahun ini, Gabbard resmi beralih ke Partai Republik setelah keluar dari Partai Demokrat di tahun 2022. Gabbard menyatakan bahwa keputusan ini didorong oleh pandangannya bahwa Partai Demokrat adalah “kelompok elit pengobar perang yang dipengaruhi oleh wokeness yang pengecut.”
Dalam masa jabatannya, Gabbard dikenal sebagai kritikus vokal terhadap kebijakan luar negeri AS yang agresif. Ia menentang keras perang-perang perubahan rezim yang menurutnya justru membuat negara lebih tidak aman, mengorbankan banyak nyawa, dan membebani para pembayar pajak dengan biaya triliunan dolar.
Ketidakpuasannya terhadap kebijakan luar negeri AS semakin terlihat dalam sikap kritisnya terhadap bantuan AS kepada Ukraina, serta kunjungan kontroversialnya ke Suriah pada 2017, di mana ia bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad.
Tugas dan Tanggung Jawab sebagai Direktur Intelijen Nasional
Sebagai Direktur Intelijen Nasional, Gabbard akan memimpin 18 badan intelijen AS, termasuk CIA dan NSA. Salah satu peran utamanya adalah menyiapkan ringkasan intelijen harian yang dikenal sebagai "Daily Brief" untuk presiden, yang berisi informasi penting terkait keamanan nasional.
Dalam peran barunya ini, Gabbard diharapkan untuk tidak hanya menjadi pengawas tetapi juga pemberi masukan strategis dalam berbagai isu keamanan nasional.
Trump memilih Gabbard karena pandangan kerasnya terhadap kebijakan luar negeri yang cenderung intervensionalis, yang sejalan dengan visi Trump untuk membatasi peran militer AS di luar negeri. Penunjukan Gabbard juga menjadi sinyal kuat bagi pihak-pihak yang menginginkan pendekatan yang lebih skeptis terhadap kebijakan militer global.
Baca Juga: Donald Trump Tunjuk Elon Musk Masuk Kabinet, Memimpin Departemen Doge
Sikap Kontroversial Gabbard dalam Kebijakan Luar Negeri
Gabbard sering kali mengkritik kebijakan luar negeri AS, baik di bawah pemerintahan Partai Demokrat maupun Partai Republik. Menurutnya, kebijakan intervensi militer di negara-negara lain sering kali tidak efektif dan kontraproduktif.
Pada saat ia mencalonkan diri sebagai presiden, Gabbard menolak menyebut Bashar al-Assad sebagai penjahat perang dan menyatakan bahwa Suriah bukanlah musuh Amerika Serikat karena tidak mengancam langsung keamanan negara.
Dalam konteks perannya di komunitas intelijen, pandangan ini dapat mengubah pendekatan AS terhadap kebijakan luar negeri, terutama dalam menjaga hubungan dengan negara-negara yang kerap menjadi target operasi militer.
Hal ini juga mempertegas arah pemerintahan Trump yang lebih mengedepankan diplomasi sebagai pilihan utama dibandingkan penggunaan kekuatan militer.
Pengaruh Latar Belakang Militer Gabbard
Tulsi Gabbard merupakan anggota Garda Nasional Hawaii yang pernah ditugaskan ke Irak pada 2005. Pengalaman ini memberikan perspektif tersendiri bagi Gabbard tentang dampak nyata perang bagi para prajurit yang bertugas.
Baca Juga: Partai Republik Makin Dekat dengan Mayoritas DPR AS, Kendalikan Kongres
Dalam beberapa kesempatan, ia menyebutkan bahwa salah satu alasan dirinya mendukung Trump adalah keyakinannya bahwa Trump melihat perang sebagai pilihan terakhir, serta memahami beban besar yang harus ditanggung presiden dalam mengirim prajurit ke medan perang.
Latar belakang militer ini memberikan kredibilitas tambahan bagi Gabbard dalam posisinya sebagai Direktur Intelijen Nasional. Ia diharapkan dapat mengambil keputusan yang lebih hati-hati dan mempertimbangkan semua dampak potensial dari setiap kebijakan luar negeri.
Implikasi Penunjukan Gabbard Terhadap Kebijakan Intelijen AS
Dengan latar belakang sebagai kritikus kebijakan luar negeri AS, penunjukan Gabbard menimbulkan pertanyaan tentang arah kebijakan keamanan dan intelijen nasional ke depannya.
Sebagai Direktur Intelijen Nasional, Gabbard berpotensi memengaruhi pergeseran kebijakan, terutama dalam pendekatan terhadap negara-negara yang pernah menjadi sasaran kebijakan perubahan rezim. Kebijakan yang lebih skeptis terhadap intervensi militer dapat membawa perubahan dalam aliansi strategis AS serta pendekatan terhadap ancaman global.
Baca Juga: Sumbang Jutaan Dolar untuk Kampanye, Elon Musk Dapat Jabatan di Pemerintahan Trump
Dengan pendekatan pragmatis yang diusung Gabbard, Amerika Serikat mungkin akan lebih selektif dalam mengambil langkah-langkah militer dan lebih mengedepankan solusi diplomatik, terutama dalam kawasan yang selama ini kerap menjadi medan konflik akibat kebijakan agresif AS.
Pandangan kritisnya terhadap bantuan luar negeri yang berlebihan, seperti terhadap Ukraina, menunjukkan kemungkinan adanya pengurangan bantuan militer yang tidak langsung menguntungkan kepentingan nasional AS.