Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
Sejak keputusan The Fed menurunkan suku bunga pada bulan Juli lalu, data ekonomi AS telah memberikan sinyal beragam.
Penjualan ritel yang kuat dan pertumbuhan upah yang berkelanjutan menjadi lasan Presiden Fed Boston Eric Rosengren bahwa kondisi ekonomi saat ini tidak membenarkan pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut. Dia berbeda pendapat dalam keputusan The Fed pada bulan Juli lalu.
Sementara, perang perdagangan AS-Tiongkok yang sedang berlangsung membuat Presiden Fed Dallas Robert Kaplan khawatir tentang melambatnya output inudtri dan penurunan investasi bisnis. Kaplan oun mendukung penurunan suku bunga pada bulan Juli lalu.
Baca Juga: Fed fund rate turun, pasar obligasi Indonesia tetap menarik
Nah, bola liar terbaru yang akan ikut diperdebatkan dalam pertemuan The Fed pekan ini adalah munculnya serangan tak terduga terhadap fasilitas minyak Arab Saudi di akhir pekan lalu, yang memicu lonjakan terbesar dalam harga minyak dalam lebih dari dua dekade.
Pejabat Fed bisa melihat perkembangan ini sebagai risiko terhadap prospek pertumbuhan ekonomi yang sudah rapuh, yang akan mendukung pelonggaran kebijakan lebih lanjut. Atau justru ini sebagai dorongan untuk kenaikan inflasi.
Para trader memperkirakan peluang 65,8% bahwa bank sentral akan memangkas suku bunga pinjaman 25 basis poin menjadi kisaran 1,75% hingga 2% pada Rabu pekan ini (18/9).
Baca Juga: Dalam waktu dekat, pasar obligasi Indonesia dipengaruhi efek agenda FOMC
Secara keseluruhan, para trader juga menebak The Fed akan memangkas suku bung sekali lagi pada akhir tahun.