Sumber: The Guardian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kampanye pemilihan presiden Donald Trump untuk tahun 2024 telah menarik perhatian berbagai miliarder, raksasa teknologi, dan kapitalis ventura dari Wall Street hingga Silicon Valley.
Beberapa nama terkenal yang secara terbuka mendukung Trump meliputi Stephen Schwarzman, ketua Blackstone (perusahaan ekuitas swasta terbesar di dunia), Steve Wynn, raja kasino, Bill Ackman, manajer hedge fund, serta Marc Andreessen, seorang kapitalis ventura ternama.
Mereka tertarik dengan kebijakan ekonomi Trump yang dianggap menguntungkan bagi bisnis dan sektor keuangan.
Namun, di tengah dukungan ini, banyak profesor bisnis dan sejarawan memberikan peringatan serius. Menurut mereka, dukungan bisnis terhadap Trump berpotensi membawa risiko besar, tidak hanya bagi bisnis itu sendiri, tetapi juga bagi demokrasi Amerika.
Baca Juga: Trump: Para Donor Yahudi Akan Ditinggalkan Harris Jika Terpilih Sebagai Presiden AS
Kekhawatiran Para Akademisi
Para akademisi memperingatkan bahwa dukungan kepada Trump dapat memperburuk kondisi politik di Amerika Serikat.
Trump secara terbuka menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang diktator pada hari pertama masa jabatannya, berencana untuk mengakhiri konstitusi, dan memanfaatkan departemen kehakiman sebagai alat untuk membalas dendam kepada para pengkritiknya.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar, terutama di kalangan profesor dan sejarawan yang melihat adanya ancaman serius terhadap demokrasi.
Jeffrey Sonnenfeld, dekan asosiasi senior di Yale School of Management, menyoroti adanya perbedaan signifikan dalam dunia bisnis terkait dukungan kepada Trump.
Meskipun puluhan miliarder mendukung Trump, tidak ada satu pun CEO dari perusahaan Fortune 100 yang menyumbangkan dana untuk kampanyenya, menurut catatan publik. Para CEO ini sadar bahwa dukungan mereka terhadap kandidat yang bercita-cita otoriter dapat memicu kemarahan para pemegang saham dan merusak reputasi perusahaan.
Baca Juga: Ungguli Trump, Harris Kantongi Dana Kampanye US$ 404 juta
Pengaruh Miliarder yang Tidak Terkendali
Miliarder yang mendukung Trump umumnya merasa lebih bebas dalam menyumbang dana dibandingkan dengan para CEO.
Lebih dari 60 miliarder dilaporkan telah menyumbang untuk kampanye Trump, termasuk Bernard Marcus, salah satu pendiri Home Depot, dan Timothy Mellon, pewaris kekayaan Gilded Age yang baru-baru ini menyumbangkan US$125 juta ke Super PAC Trump.
Sonnenfeld berpendapat bahwa para miliarder ini, terutama yang sudah berusia lanjut, haus akan perhatian dan pengaruh. Mereka juga tertarik pada janji Trump untuk memberikan pemotongan pajak besar bagi orang kaya serta kebijakan pro-bisnis lainnya.
Baca Juga: Usulan Pajak Kamala Harris, Goldman Sachs Sebut Bisa Pangkas Laba Perusahaan
Risiko Bagi Demokrasi dan Ekonomi
Di sisi lain, akademisi seperti Witold Henisz, wakil dekan di Wharton School, mempertanyakan kebijakan para miliarder ini. Menurut Henisz, para miliarder ini mengabaikan risiko jangka panjang yang dihadapi oleh demokrasi dan ekonomi.
Trump berencana untuk mengurangi independensi Federal Reserve, yang dapat memicu inflasi, dan meningkatkan deportasi lebih dari 10 juta imigran, yang akan mempengaruhi biaya tenaga kerja dan citra internasional Amerika Serikat.
Daniel Ziblatt, seorang ilmuwan politik dari Harvard, menambahkan bahwa dukungan bisnis terhadap otoritarianisme dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Demokrasi, menurut Ziblatt, adalah sistem politik yang paling efektif untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Meskipun Trump menjanjikan pemotongan pajak yang signifikan, dampak jangka panjang terhadap stabilitas politik dan kebebasan ekonomi Amerika Serikat tidak dapat diabaikan.
Baca Juga: Rusia Diam-diam Beralih ke India untuk Amankan Pasokan Elektronik Penting
Trump dan Dunia Korporat: Hubungan Penuh Ketegangan
Beberapa pemimpin bisnis mendukung Trump karena alasan pragmatisme, tetapi banyak yang enggan mendukungnya karena sejarah panjang perselisihannya dengan berbagai perusahaan besar.
Contohnya, setelah Trump marah atas liputan CNN tentang dirinya, ia diduga membalas dengan menghalangi penggabungan antara AT&T dan Time Warner, yang berdampak buruk pada kedua perusahaan tersebut.
Beberapa akademisi berpendapat bahwa strategi untuk berurusan dengan Trump adalah dengan menunjukkan loyalitas total. Namun, ini membawa risiko bagi dunia korporat, terutama jika Trump melaksanakan kebijakan yang kontroversial seperti membangun kamp interniran sebagai bagian dari rencananya untuk mendeportasi jutaan imigran.
Baca Juga: Saham Truth Social Milik Donald Trump Sentuh All-Time Low
Pelajaran dari Sejarah: Perbandingan dengan Jerman 1930-an
Beberapa sejarawan, termasuk Timothy Ryback, memperingatkan bahwa ada beberapa kesamaan yang mengkhawatirkan antara Trump dan Adolf Hitler dalam hal retorika dan metode politik.
Meski tidak sepenuhnya adil untuk membandingkan keduanya, Ryback menegaskan bahwa para pemimpin bisnis Amerika harus berhati-hati dalam mendukung Trump, mengingat retorikanya tentang otoritarianisme dan balas dendam terhadap lawan politik.
Sejarah telah menunjukkan bahwa dukungan dunia bisnis terhadap pemimpin otoriter dapat membawa dampak jangka panjang yang merugikan. Beberapa perusahaan Jerman yang mendukung Hitler dan perang Nazi masih berusaha membersihkan diri dari noda sejarah tersebut hingga hari ini.