Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Tarif tinggi Amerika Serikat (AS) kembali menghantam aktivitas manufaktur di kawasan Asia, meski China justru menunjukkan kinerja lebih positif dari perkiraan.
Hal ini tercermin dalam survei swasta yang dirilis Senin (1/9/2025), menandakan masih rapuhnya pemulihan ekonomi regional dan memberi tekanan baru bagi para pembuat kebijakan.
Baca Juga: 10 Orang Terkaya di Dunia Awal September 2025: Harta Elon Musk Terus Bertambah
Sejumlah analis memperingatkan, produsen di Asia yang sebelumnya mempercepat pengiriman ekspor untuk menghindari bea masuk lebih tinggi, kini akan menghadapi tekanan laba seiring melemahnya permintaan dalam beberapa bulan ke depan.
Tiga negara eksportir besar, yakni Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, mencatat kontraksi aktivitas pabrik pada Agustus 2025.
Kondisi ini menyoroti betapa sulitnya kawasan Asia bertahan dari dampak tarif yang diberlakukan Presiden Donald Trump.
“Ekonomi Asia terkena pukulan ganda, menghadapi tarif AS yang lebih tinggi sekaligus persaingan dari produk ekspor murah asal China,” ujar Toru Nishihama, Kepala Ekonom Pasar Berkembang di Dai-ichi Life Research Institute.
“Dampaknya kemungkinan akan makin terasa, terutama bagi negara yang sangat bergantung pada ekspor ke AS seperti Thailand dan Korea Selatan,” tambahnya.
Baca Juga: Manufaktur China Bangkit, PMI Agustus Sentuh Level Tertinggi dalam Lima Bulan
Di sisi lain, RatingDog China General Manufacturing PMI yang disusun S&P Global naik menjadi 50,5 pada Agustus, dari 49,5 di bulan sebelumnya. Angka ini melampaui ekspektasi pasar sekaligus berada di atas ambang 50 yang menandakan ekspansi.
Namun, hasil ini bertolak belakang dengan survei resmi pemerintah sehari sebelumnya yang menunjukkan manufaktur China masih menyusut untuk bulan kelima berturut-turut akibat lemahnya permintaan domestik dan ketidakpastian negosiasi dagang dengan AS.
“Manufaktur memang mendukung pemulihan, tapi rebound ini masih tambal sulam,” kata Yao Yu, pendiri RatingDog.
“Dengan permintaan dalam negeri yang lemah, pesanan ekspor yang bisa jadi terlalu dipaksakan, serta pemulihan laba yang lambat, keberlanjutan perbaikan ini sangat bergantung pada kestabilan ekspor dan kenaikan konsumsi domestik.”
Sementara itu, PMI manufaktur Jepang berada di 49,7 pada Agustus, naik dari 48,9 di Juli namun tetap di bawah level 50 selama dua bulan berturut-turut.
Baca Juga: PMI Manufaktur Korea Selatan Kontraksi 7 Bulan Beruntun Tertekan Tarif AS
Survei juga menunjukkan pesanan baru dari luar negeri anjlok pada laju tercepat sejak Maret 2024, menyusul lemahnya permintaan dari pasar utama seperti China, Eropa, dan AS.
Korea Selatan mencatat PMI 48,3 di Agustus, naik tipis dari 48,0 pada Juli namun masih terkontraksi untuk bulan ketujuh beruntun.
Kedua negara sejatinya telah meneken kesepakatan dagang dengan AS pada Juli yang memangkas sebagian tarif impor.
Jepang berhasil menurunkan tarif mobil utama dari 27,5% menjadi 15%, sementara Korea Selatan juga memperoleh keringanan dari 25% menjadi 15% yang berlaku mulai Agustus.
Di luar itu, manufaktur Taiwan juga menunjukkan pelemahan. Sebaliknya, Filipina dan Indonesia masih mencatatkan ekspansi aktivitas pabrik di Agustus, menurut survei yang sama.