Sumber: The Guardian,The Guardian | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ribuan pegawai federal Amerika Serikat tengah dilanda kepanikan setelah pemerintahan Donald Trump meluncurkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terbaru di tengah penutupan (shutdown) pemerintahan.
Langkah ini menimbulkan kebingungan besar karena dilakukan saat banyak lembaga federal berhenti beroperasi.
Sekitar 4.200 pegawai dari tujuh lembaga federal diberhentikan pada Jumat lalu, menurut keterangan resmi pemerintahan. Namun, 700 PHK di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dibatalkan pada akhir pekan.
Baca Juga: Total Kekayaan Pribadi Global Naik 4,6%, Peningkatan Tertinggi di Amerika Utara
Pemerintahan Trump belum menjelaskan apakah akan ada gelombang PHK lanjutan. Trump sendiri mengatakan kepada wartawan bahwa “banyak” pegawai pemerintah akan diberhentikan, seiring upayanya memangkas drastis jumlah pegawai federal tahun ini.
Sidang Gugatan Serikat Pekerja Dijadwalkan
Serikat pekerja federal segera menggugat langkah tersebut dan sidang dijadwalkan berlangsung pada Rabu. Gugatan ini menjadi babak baru dalam konflik hukum antara serikat buruh dan pemerintahan Trump, yang berupaya memangkas birokrasi secara agresif.
Kondisi paling kacau terjadi di Departemen Pendidikan (Department of Education). Karena shutdown, banyak pegawai tidak bisa mengakses email dinas mereka untuk memeriksa apakah mereka menerima surat pemutusan kerja atau reduction in force (RIF).
“Saya tidak tahu apakah masih punya pekerjaan. Mereka mengirimkan RIF ke email pemerintah kami, tapi kami tidak bisa membukanya,” ujar seorang pegawai Departemen Pendidikan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pegawai lain menyebut akhirnya bisa mengakses emailnya dan menemukan pemberitahuan pemutusan kerja revisi dengan tanggal efektif 3 November, menggantikan surat lama yang sempat tertunda karena gugatan pengadilan.
PHK Digelar di Tengah Duka atas Wafatnya Direktur Lama
Pegawai di kantor program pendidikan khusus (Office of Special Education Programs) juga mengkritik waktu pelaksanaan PHK yang dilakukan sehari sebelum pemakaman Greg Corr, direktur lama yang baru saja pensiun setelah 38 tahun mengabdi.
Baca Juga: JP Morgan Peringatkan AS Sedang Bangkrut Pelan-Pelan di Tengah Lonjakan Utang
“Mereka melakukan ini pada hari sebelum pemakaman seseorang yang telah mendedikasikan hidupnya bagi anak-anak penyandang disabilitas,” ujar seorang pegawai. “Di mana kemanusiaannya?”
Sebagian besar pegawai di divisi pendidikan khusus dan layanan rehabilitasi dilaporkan termasuk dalam daftar PHK.
PHK Dianggap Tidak Sah dan Bermotif Politik
Dalam surat RIF yang diperoleh The Guardian, disebutkan bahwa “berlanjutnya kekosongan pendanaan” membuat PHK ini diperlukan, dengan tanggal pemisahan kerja 9 Desember. Namun, belum pernah sebelumnya ada shutdown pemerintahan yang mengakibatkan PHK massal.
Pegawai menolak klaim Trump bahwa lembaga yang menjadi sasaran PHK adalah “pro-Demokrat”. “Ini bukan program Demokrat. Ini adalah pendidikan khusus,” tegas salah satu pegawai.
Latar Belakang Hukum dan Penolakan Serikat Pekerja
Upaya PHK massal di Departemen Pendidikan sebenarnya sudah direncanakan sejak Maret lalu, namun sempat diblokir oleh gugatan hukum dari serikat pekerja dan jaksa agung negara bagian.
Pengadilan federal sempat mengeluarkan putusan sementara yang menunda PHK, namun Mahkamah Agung AS pada Juli lalu mengizinkan langkah tersebut dilanjutkan tanpa penjelasan tertulis.
Baca Juga: Shutdown Pemerintah AS Masuk Minggu Ketiga, Akankah Ukir Rekor Baru?
Sejak Trump menjabat, jumlah pegawai Departemen Pendidikan telah turun dari lebih dari 4.100 menjadi di bawah 2.000 orang.
Rachel Gittleman, presiden AFGE Local 252, serikat pekerja Departemen Pendidikan, mengatakan PHK ini merupakan langkah untuk “secara ilegal membongkar lembaga” tanpa mempertimbangkan dampak bagi publik.
“Pemutusan kerja ini akan menggandakan kerugian bagi siswa K-12, siswa penyandang disabilitas, mahasiswa generasi pertama, siswa berpenghasilan rendah, dan guru di seluruh negeri,” kata Gittleman.
Ketidakpastian Menyebar ke Lembaga Lain
Kepanikan juga menyebar ke lembaga lain yang belum diumumkan akan dipangkas, seperti Departemen Tenaga Kerja (Department of Labor), di mana sekitar 75% staf telah dirumahkan (furloughed).
“Situasi ini sangat menguras mental dan fisik. Moral kerja sudah rendah, dan sekarang makin buruk,” kata Imelda Avila-Thomas, presiden AFGE Local 2139.
Gedung Putih menolak memberikan komentar dan mengarahkan pertanyaan ke Office of Management and Budget (OMB), yang juga tidak menanggapi permintaan media.
Sementara itu, balasan otomatis dari Departemen Pendidikan menyatakan:
“Karena tidak adanya alokasi anggaran, kami saat ini dalam status furlough. Kami akan menanggapi email setelah fungsi pemerintahan kembali berjalan.”