Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Tri Adi
Merangkak dari seorang karyawan biasa, Glen A. Taylor kini menjadi orang nomor satu di perusahaan percetakan yang dibeli dari mantan bosnya dengan cara mencicil. Di bawah kendali anak petani ini, Taylor Corporation aktif melancarkan aksi akuisisi sejak era 1970-an. Saat krisis global melanda dunia tahun 2008, kinerja perusahaan sang pemilik harta US$ 2,4 miliar itu masih bisa tumbuh, saat para pesaingnya membukukan penurunan pendapatan antara 15%-22%.
Perjalanan Glen A. Taylor sebelum menggapai predikat miliarder dunia sangat panjang. Butuh waktu puluhan tahun sebelum Taylor mencapai tangga kesuksesannya saat ini. Dengan kesabaran dan ketekunan, pria yang kini berusia 73 tahun ini mengumpulkan pundi-pundi kekayaan mulai dari menjadi petani, tukang cetak, hingga akhirnya menjadi chief executive officer (CEO) di perusahaannya sendiri, Taylor Corporation.
Awalnya, perusahaan percetakan Taylor ini bernama Carlson Wedding Service. Perusahaan ini kemudian dijual oleh sang pendiri, yakni Bill Carlson, yang saat itu menjadi atasan Taylor sejak tahun 1959. Setelah membeli kepemilikan mayoritas Carlson Wedding dari Bill Carlson dengan cara mencicil, Taylor lantas mengubah nama perusahaan menjadi Taylor Corporation pada sekitar tahun 1975. Kala resmi memakai nama baru, Taylor Corporation tercatat membukukan pendapatan sebanyak US$ 6 juta per tahun.
Demi mengembangkan bisnis, Taylor lantas mengakuisisi perusahaan alat tulis pada tahun 1975. Alasannya, perusahaan tersebut sejalan dengan bisnis utamanya di bidang percetakan.
Boleh dibilang, pada era 1970-an adalah masa ekspansi Taylor Corporation. Sejumlah aksi akuisisi menjadikan perusahaan ini menjadi perusahaan percetakan yang terintegrasi.
Dari sisi sumber daya manusia, Taylor lebih senang mengincar anak-anak muda kreatif untuk memimpin perusahaan. Bahkan untuk posisi sekelas manajer dan kepala divisi, dia percayakan kepada para mahasiswa yang ingin bekerja paruh waktu.
Taylor Corporation kini memiliki 80 anak perusahaan, di antaranya adalah Carlson Carft, 123Print, Artco, BurdgeCooper, Card Fulfillment Services, Cosco Current, dan Nowdocs. Ekspansi besar-besaran menyebabkan pendapatan Taylor Corporation melejit menjadi US$ 200 juta pada tahun 1985.
Pendapatan sebesar itu diperoleh dari perdagangan peralatan alat tulis, undangan pernikahan, dan kartu ucapan dari anak-anak perusahaannya. Asal tahu saja, jaringan anak usaha yang tersebar di banyak negara cukup solid menopang pertumbuhan bisnis sang induk usaha.
Saat badai krisis keuangan global melanda tahun 2008, banyak perusahaan percetakan membukukan penurunan pendapatan antara 15% hingga 22%. Namun saat itu, Taylor Corporation tetap mencatatkan pertumbuhan, meski pada angka yang tipis menjadi US$ 350 juta per tahun. “Pertumbuhan adalah budaya kami. Jadi kami harus tumbuh,” ucap Taylor.
Kata Taylor saat itu, dia telah mempersiapkan diri menghadapi krisis ekonomi lewat antisipasi berupa penyusunan strategi produksi dan pemasaran. Sebisa mungkin, Taylor tidak mengurangi jumlah karyawan.
Sebagai seorang pemimpin perusahaan, Taylor memberikan dukungan penuh bagi karyawan untuk menyumbangkan ide-ide kreatif bagi perusahaan. Pada sebuah acara diskusi di kantor pusat Taylor Corporation di Utara Mankato AS, Taylor memaparkan dengan panjang bagaimana cara menelurkan ide atau strategi untuk tetap memacu bisnis di masa krisis. Hampir semua ide, merupakan modal dasar untuk mengarahkan perusahaan.
Taylor juga membuka kesempatan mempekerjakan lebih banyak staf penjualan, pemasaran dan teknologi informasi demi memperluas cakupan pemasaran, selain memberikan garansi produk bagi konsumen baru.
Taylor mengakui, saat ini sejumlah target perusahaan tidak tercapai akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi. "Tidak mungkin tumbuh agresif pada masa-masa sulit," ucapnya.
(Bersambung)