Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Harga minyak melonjak lebih dari US$ 2 per barel di awal perdagangan sesi Asia pada hari ini. Sentimen utama datang setelah eksportir utama dunia, Arab Saudi, berjanji untuk memangkas produksi sebesar 1 juta barel per hari mulai Juli.
Senin (5/6) pukul 05.30 WIB, harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman Agustus 2023 naik US$ 2,29 atau 3% menjadi US$ 78,42 per barel, setelah sebelumnya mencapai sesi tertinggi di US$ 78,73 per barel.
Sejalan, harga minyak mentah berjangka jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli 2023 menguat US$ 2,27 per barel atau naik 3,2% ke US$ 74,01 per barel, setelah menyentuh level tertinggi intraday di US$ 75,06 per barel.
Produksi Arab Saudi akan turun menjadi 9 juta barel per hari (bpd) pada Juli, dari sekitar 10 juta bpd yang dicetak pada bulan Mei 2023. Ini jadi penurunan terbesar dalam beberapa tahun, kata Kementerian Energi Arab Saudi dalam sebuah pernyataan.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik, Fokus Pasar Tertuju Pada Rencana Pemangkasan Produksi OPEC
Pemotongan sukarela yang dijanjikan oleh Arab Saudi berada di atas kesepakatan yang lebih luas oleh OPEC+, untuk membatasi pasokan hingga 2024, karena kelompok tersebut berusaha untuk meningkatkan harga minyak yang lesu.
OPEC+ memproduksi sekitar 40% minyak mentah dunia dan melakukan pemotongan sebesar 3,66 juta barel per hari, sebesar 3,6% dari permintaan global.
"Langkah Arab Saudi kemungkinan akan mengejutkan, mengingat perubahan kuota terbaru hanya berlaku selama sebulan," kata analis ANZ dalam sebuah catatan.
"Pasar minyak sekarang terlihat akan semakin ketat di paruh kedua tahun ini."
Namun, banyak dari pengurangan ini tidak akan nyata karena grup tersebut menurunkan target untuk Rusia, Nigeria, dan Angola agar sejalan dengan tingkat produksi aktual saat ini.
Sebaliknya, Uni Emirat Arab diizinkan menaikkan target produksi sekitar 0,2 juta barel per hari menjadi 3,22 juta barel per hari.
"UEA telah diizinkan untuk memperluas produksi, dengan mengorbankan negara-negara Afrika, yang kuotanya yang tidak terpakai diturunkan berdasarkan perjanjian baru," kata ANZ.