Sumber: Reuters | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - LONDON. Harga minyak sedikit menguat karena investor menilai dampak serangan pesawat nirawak Ukraina terhadap kilang-kilang Rusia. Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak negara-negara NATO untuk menghentikan pembelian minyak Rusia.
Senin (15/9/2025) pukul 21.30 WIB, harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk kontrak pengiriman November 2025 naik 40 sen, atau 0,6% menjadi US$ 67,39 per barel.
Sejalan, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Oktober 2025 berada di level US$ 63,21 per barel, naik 52 sen atau 0,8%.
Harga minyak masih berada di kisaran US$ 65 dan US$ 70 per barel, didorong oleh risiko gangguan akibat serangan Ukraina terhadap fasilitas energi Rusia dan seruan baru dari Trump untuk sanksi sekunder yang lebih keras terhadap pembeli minyak mentah Rusia, kata analis Saxo Bank, Ole Hansen.
Ukraina melancarkan serangan besar-besaran dengan setidaknya 361 pesawat nirawak yang menargetkan Rusia semalam, memicu kebakaran singkat di kilang minyak Kirishi yang luas di barat laut Rusia, kata pejabat Rusia pada hari Minggu.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik Terdorong Serangan Drone Ukraina ke Infrastruktur Rusia
Kedua kontrak minyak mentah naik lebih dari 1% di minggu lalu karena Ukraina meningkatkan serangan terhadap infrastruktur minyak Rusia, termasuk terminal ekspor minyak terbesar, Primorsk.
Primorsk memiliki kapasitas untuk memuat sekitar 1 juta barel minyak mentah per hari, sementara kilang Kirishi memproses sekitar 355.000 barel minyak mentah Rusia per hari, setara dengan 6,4% dari total minyak mentah negara itu.
Tekanan meningkat terhadap Rusia ketika Trump mengatakan pada hari Sabtu bahwa AS siap untuk menjatuhkan sanksi energi baru terhadap Rusia, tetapi hanya jika semua negara NATO berhenti membeli minyak Rusia dan menerapkan langkah-langkah serupa.
Harga minyak juga mendapat sedikit dukungan dari permintaan kilang yang solid di Tiongkok bulan lalu dan penurunan persediaan minyak mentah AS, sementara data ekonomi Tiongkok yang melemah membebani harga, kata analis UBS Giovanni Staunovo.
Investor juga menantikan keputusan suku bunga oleh Federal Reserve AS pada pertemuan 16-17 September, di mana bank tersebut diperkirakan akan melonggarkan kebijakan moneter. Biaya pinjaman yang lebih rendah dapat mendorong permintaan bahan bakar.
Pekan lalu, data penciptaan lapangan kerja yang lebih lemah dan inflasi yang meningkat di AS menimbulkan kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi di negara dengan ekonomi dan konsumen minyak terbesar di dunia tersebut.