Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - BEIRUT. Lebanon, tengah berjuang untuk memilih presiden baru setelah masa jabatan Michel Aoun berakhir pada Oktober 2022.
Pemilihan yang dijadwalkan pada hari Kamis ini menjadi ujian penting bagi keseimbangan kekuasaan di Lebanon, yang telah terguncang akibat perang dengan Israel dan perubahan besar di kawasan Timur Tengah, termasuk jatuhnya sekutu utama Hezbollah, Bashar al-Assad, di Suriah.
Ketidakpastian Pasca-Kosongnya Kursi Presiden
Posisi presiden di Lebanon, yang disediakan untuk seorang Maronite Kristen dalam sistem kekuasaan sektarian, telah kosong sejak masa jabatan Michel Aoun berakhir pada Oktober 2022.
Meskipun Lebanon memiliki parlemen dengan 128 kursi, tidak ada kelompok politik yang memiliki cukup suara untuk memaksakan calon presiden mereka. Hingga saat ini, para anggota parlemen belum dapat mencapai kesepakatan mengenai kandidat yang akan dipilih.
Baca Juga: Eks Tentara AS Ini Disidang dengan Dakwaan Mendukung Hisbullah Lebanon
Pemilihan presiden Lebanon ini berlangsung di tengah perubahan besar yang melanda kawasan Timur Tengah. Hezbollah, kelompok yang didukung oleh Iran dan yang mendukung Aoun pada pemilihan 2016, kini berada dalam posisi yang lebih lemah setelah terlibat dalam perang dengan Israel.
Selain itu, jatuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah, yang sebelumnya memiliki pengaruh besar di Lebanon melalui sekutunya seperti Hezbollah, semakin mengubah dinamika politik di negara ini.
Kandidat yang Sedang Dibahas
Sejumlah nama kini menjadi kandidat potensial dalam pemilihan presiden Lebanon.
Di antaranya adalah Jenderal Joseph Aoun, yang dilaporkan mendapat dukungan dari Amerika Serikat, Jihad Azour, seorang pejabat senior IMF yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan Lebanon, dan Mayor Jenderal Elias al-Baysari, yang kini memimpin Badan Keamanan Umum, badan intelijen negara.
Meski beberapa pihak, termasuk Perdana Menteri Caretaker Najib Mikati, berharap proses pemilihan akan segera menghasilkan presiden baru, beberapa sumber memperingatkan bahwa belum ada jaminan bahwa salah satu kandidat akan terpilih.
Untuk memenangkan pemilihan, seorang kandidat harus mendapatkan 86 suara pada putaran pertama atau 65 suara pada putaran kedua.
Baca Juga: Garda Revolusi Iran Memperluas Kontrol atas Ekspor Minyak Teheran
Pengaruh Internasional dalam Pemilihan
Perhatian internasional terhadap pemilihan presiden Lebanon sangat besar, dengan utusan dari Prancis dan Arab Saudi bertemu dengan politisi Lebanon untuk membahas prospek pemilihan tersebut.
Arab Saudi, yang pernah menjadi pemain besar di Lebanon sebelum pengaruh Iran dan Hezbollah semakin dominan, kini menunjukkan dukungannya terhadap kandidat tertentu, terutama Jenderal Aoun.
Saudi Arabia, yang sebelumnya terlibat dalam persaingan kekuasaan di Lebanon, masih melihat bahwa pemilihan presiden adalah hak rakyat Lebanon tanpa campur tangan dari kekuatan luar. Meskipun demikian, ada tekanan dari negara-negara Barat dan regional untuk segera mengisi kekosongan posisi presiden yang telah berlangsung lebih dari satu tahun.
Baca Juga: Dukung Operasi Militer Israel, AS Gelontorkan Lebih dari US$ 22 Miliar Sepanjang 2024
Posisi Hezbollah dan Amal
Hezbollah dan sekutunya, Amal Movement yang dipimpin oleh Ketua Parlemen Nabih Berri, telah mengubah sikap mereka. Setelah bertahun-tahun mendukung Suleiman Frangieh sebagai kandidat presiden, mereka kini lebih terbuka untuk mendukung calon yang lebih sedikit menimbulkan kontroversi, seperti Aoun atau Azour.
Meski demikian, ada kesepakatan bahwa untuk memajukan proses pemilihan, semua pihak harus mencapai kesepakatan, terutama dalam hal kandidat yang akan dipilih.
Menurut Nabil Boumonsef, Wakil Pemimpin Redaksi surat kabar Annahar, jika Hezbollah dan Amal tidak setuju pada satu calon, pemilihan presiden mungkin tidak akan terjadi. Jika mereka memaksakan calon pilihan mereka, hal itu berisiko memperburuk krisis politik yang sedang dihadapi Lebanon.