Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun berada di jalur kenaikan mingguan tertingginya lebih dari 43 tahun pada Jumat (11/4).
Di tengah kekacauan pasar global akibat pendekatan tarif Presiden AS Donald Trump yang tidak menentu, yang mendorong aksi jual besar-besaran di pasar obligasi.
Menurut analis, hedge fund dan manajer aset lainnya menjual obligasi sepanjang pekan ini setelah menerima margin call dan mengalami kerugian tajam akibat volatilitas pasar.
Baca Juga: Imbal Hasil Obligasi AS Turun ke Level Terendah 3 Minggu Senin (27/1)
Investor yang menggunakan leverage—terutama mereka yang menjalankan strategi arbitrase seperti "basis trade"—mengalami kerugian besar setelah Trump mengumumkan tarif impor yang lebih tinggi dari perkiraan minggu lalu, namun tiba-tiba memberikan jeda 90 hari untuk sebagian besar negara pada Rabu.
Rumor mengenai aksi jual oleh investor asing atau minimnya aksi beli dari mereka, turut memperbesar kekhawatiran pasar.
Lawrence Gillum, Kepala Strategi Pendapatan Tetap di LPL Financial menyebut situasi ini sebagai “badai sempurna”, terutama dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap inflasi yang masih membandel.
“Ketika investor mulai dari ritel, institusional, hingga sovereign wealth fund mulai menjual obligasi hanya karena volatilitas pasar yang tinggi, ini menjadi cerita buruk yang datang bertubi-tubi di pasar pendapatan tetap,” ujarnya.
Baca Juga: Petinggi The Fed: Tarif Impor Trump Bikin Inflasi AS Tembus 4%, Pengangguran Naik
Trump sendiri mengakui volatilitas pasar, termasuk pasar obligasi, sebagai salah satu alasan di balik keputusannya memberi jeda tarif, dengan menyebut bahwa orang-orang mulai "gelisah".
Bursa CME Group juga telah menaikkan persyaratan margin untuk kontrak berjangka suku bunga, yang turut memperparah kekhawatiran investor terhadap "basis trade", kata Molly Brooks, analis suku bunga AS di TD Securities.
Pelepasan posisi "basis trade"—strategi populer yang mencoba mengambil untung dari perbedaan harga antara obligasi fisik dan kontrak berjangka—disebut sebagai salah satu pemicu utama volatilitas pekan ini.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun terakhir naik 17,7 basis poin menjadi 4,569%, setelah sempat menyentuh 4,592%, tertinggi sejak 13 Februari. Kenaikan mingguan ini adalah yang terbesar sejak 1981.
Sementara itu, imbal hasil obligasi 30 tahun naik 12,4 basis poin ke 4,972%. Pada Rabu lalu, angkanya sempat mencapai 5,023%, tertinggi sejak November 2023, dan kini mengarah ke kenaikan mingguan terbesar sejak 1982.
Baca Juga: Trump Untung Rp7 Triliun Sehari, Gara-Gara Unggahan di Media Sosialnya
Imbal hasil obligasi jangka pendek dua tahun, yang lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga, naik 9,6 basis poin menjadi 3,943%, setelah sempat menyentuh 4,039% pada Rabu, tertinggi sejak 27 Maret.
Imbal hasil ini menuju kenaikan mingguan sebesar 20 basis poin, tertinggi sejak September tahun lalu.
Kondisi ini mencerminkan keyakinan pelaku pasar bahwa The Fed mungkin akan memangkas suku bunga lebih cepat apabila dampak tarif memperlambat ekonomi AS.
Perbedaan imbal hasil antara obligasi tenor 2 tahun dan 10 tahun (yield curve) naik sekitar 6 basis poin menjadi 62 basis poin, setelah sempat menyentuh 74 basis poin pada Rabu—tertinggi sejak Januari 2022.
Kurva ini mengalami steepening mingguan terbesar sejak Oktober 2023.
Lelang obligasi 10 tahun dan 30 tahun yang berlangsung kuat pada Rabu (9/4) dan Kamis (10/4) sempat menstabilkan pasar, namun banyak investor tetap enggan masuk sebelum likuiditas membaik.
"Obligasi pemerintah AS memang masih tergolong likuid dibanding aset lain, tapi secara keseluruhan likuiditas minggu ini agak kering karena minat risiko dari pembeli dan penjual sangat terbatas," ujar Phyllis Sim, pedagang obligasi di StoneX.
Baca Juga: China Kembali Balas Tarif Trump, Kekhawatiran Resesi Ekonomi Global Meningkat
Analis memperkirakan bahwa jika likuiditas pasar obligasi memburuk lebih lanjut, Federal Reserve mungkin harus turun tangan untuk menjaga kelancaran pasar.
Namun, Presiden The Fed Bank of Minneapolis Neel Kashkari menyatakan bahwa bank sentral seharusnya hanya campur tangan dalam kondisi darurat saja.
Ini merupakan pernyataan paling eksplisit sejauh ini dari pejabat The Fed terkait respons terhadap volatilitas pasar.
Imbal hasil sempat turun sebentar setelah data pada Jumat menunjukkan indeks harga produsen (PPI) AS turun 0,4% pada Maret akibat penurunan tajam harga energi.
Namun, tarif impor diperkirakan akan mendorong inflasi naik dalam beberapa bulan ke depan.
Laporan lain menunjukkan bahwa sentimen konsumen AS merosot tajam pada April, sementara ekspektasi inflasi 12 bulan mendatang melonjak ke level tertinggi sejak 1981, seiring meningkatnya kecemasan akibat perang dagang yang makin panas.