Sumber: Al Jazeera | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Data terbaru menunjukkan bahwa nilai impor senjata meningkat tajam sejak militer berkuasa. Catatan ini seperti menunjukkan betapa besarnya nuansa militer di negara tersebut.
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan bahwa sebagian besar senjata berasal dari Rusia, China, dan perusahaan di Singapura.
Dalam laporan yang diterbitkan secara luas pada hari Rabu (17/5) itu, disebutkan Militer Myanmar telah mengimpor senjata senilai hampir US$ 1 miliar sejak merebut kekuasaan pada Februari 2021.
Impor mencakup senjata, teknologi dengan fungsi ganda, serta komponen yang digunakan untuk memproduksi senjata. Laporan mencatat data pengiriman sejak 1 Februari 2021 hingga Desember 2022.
Baca Juga: KTT ASEAN: Perlindungan Pekerja Migran, Kekerasan di Myanmar dan Penguatan Ekonomi
"Senjata-senjata ini, dan bahan-bahan untuk membuatnya lebih banyak, terus mengalir tanpa henti ke militer Myanmar meskipun ada banyak bukti kejahatan dan kekejaman militer," tulis laporan tersebut, dikutip Al Jazeera.
Laporan pengawas PBB mengidentifikasi lebih dari 12.500 pembelian unik, mencakup pembelian yang tercatat langsung ke militer Myanmar atau pedagang senjata Myanmar yang bekerja atas nama militer.
Tidak hanya peningkatan dalam volume, keragaman jenis senjata yang diterima militer Myanmar juga meluas. Militer tercatat telah menerima jet tempur, drone, peralatan komunikasi, hingga komponen untuk kapal angkatan laut.
Baca Juga: Lebarkan Sayap ke Pasifik, AS Segera Sahkan Pakta Pertahanan dengan Papua Nugini
Rusia Jadi Pemasok Terbesar
Laporan Andrews menunjukkan bahwa entitas Rusia menjadi pemasok senjata terbesar dengan nilai mencapai US$ 406 juta. Disusul oleh entitas China dan entitas yang beroperasi di Singapura dengan masing-masing US$ 254 juta.
Pengiriman dengan nilai relatif kecil juga datang dari India dengan US$ 5 juta dan Thailand dengan US$ 28 juta.
Di antara para eksportir tersebut, entitas milik negara Rusia, China, dan India juga ada di dalamnya.
"Lebih dari US$ 947 juta perdagangan terkait senjata yang teridentifikasi langsung ke entitas yang dikendalikan oleh militer Myanmar, seperti Direktorat Pengadaan, Direktorat Industri Pertahanan, atau cabang militer tertentu seperti Angkatan Udara Myanmar atau Sekolah Pelatihan Dasar Tatmadaw," tulis laporan tersebut.
Baca Juga: Mobil Diplomat Indonesia & Singapura Ditembaki Di Myanmar
Menanggapi laporan tersebut, Rusia dan China menuduh pelapor telah bertindak melebihi wewenangnya dengan mengkritik perdagangan senjata yang sah.
Sementara itu, India mengatakan kontrak senjata yang melibatkan perusahaan milik negara telah ditandatangani oleh pemerintah sebelumnya.
Andrews tidak menemukan informasi yang menunjukkan bahwa entitas yang dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah Singapura atau Thailand telah melakukan transaksi langsung ke Myanmar.
Dugaan sementara mengarah pada adanya pedagang senjata yang menggunakan wilayah negara itu untuk menjalankan bisnis mereka. Pemerintah Singapura kini dikabarkan sedang meninjau efektivitas kontrol ekspornya.