Sumber: Channelnewsasia.com,Reuters,Bloomberg | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Perhitungan Bloomberg menunjukkan, tidak termasuk Boeing 737-900 yang melakukan penerbangan pertamanya pada tahun 2014, usia armada rata-rata mencapai hampir 19 tahun. Bandingkan dengan usia rata-rata armada PT Garuda Indonesia yaitu 8,3 tahun.
“Kami belum tahu apa yang menyebabkan insiden itu,” kata Shukor Yusof, pendiri perusahaan konsultan penerbangan Endau Analytics di Malaysia seperti yang dilansir Bloomberg.
Faktor kedua adalah cuaca. Mengutip Bloomberg, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki salah satu insiden badai petir dan sambaran petir tertinggi di mana pun. (Kota Bogor pernah mengalami badai petir selama 322 hari dalam satu tahun pada tahun 1988)
Baca Juga: Jasa Raharja beri santunan Rp 50 juta bagi ahli waris korban kecelakaan Sriwijaya Air
Ketiga, ada juga faktor letusan gunung berapi, yang membuang gumpalan abu ke udara yang dapat tersedot ke mesin jet, sehingga menyebabkannya rusak. Pada 2019, bandara Bali membatalkan dan mengalihkan sejumlah penerbangan menyusul letusan Gunung Agung, yang memuntahkan abu di selatan pulau.
Keempat, dengan pemanasan global, kejadian cuaca ekstrim menjadi lebih umum terjadi. Penerbangan Sriwijaya 182 ditunda sekitar satu jam karena kondisi yang memprihatinkan.
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan beri santunan ahli waris korban Sriwijaya Air, ini rinciannya
Sementara itu, Channelnewsasia.com juga mengulas kecelakaan Sriwijaya Air lewat artikel berjudul Sriwijaya Air crash places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight.