kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri P2P lending kolaps, pemerintah China tangkapi investor


Senin, 13 Agustus 2018 / 23:22 WIB
Industri P2P lending kolaps, pemerintah China tangkapi investor
ILUSTRASI. Bendera China


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Agung Jatmiko

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Pemerintah China mengambil langkah yang ekstrem terkait dengan kolapsnya industri peer to peer lending (P2P lending) China. Banyak investor yang melakukan protes justru diperlakukan sebagai kriminal dengan tuduhan memprovokasi masyarakat luas untuk melakukan protes.

Mengutip Reuters, Minggu (12/8), awalnya para investor yang kecewa melakukan aksi unjuk rasa di Beijing secara damai. Namun, bukannya menjadi penengah, pemerintah China justru menerjunkan tim keamanan secara besar-besaran di kantor China Banking dan Insurance Regulatory Commission (CBIRC) yang terletak di Beijing. Tim pengamanan dari CBIRC ini akhirnya membawa para pengunjuk rasa ke penampungan di Jiujingzhuang.

P2P lending memang tumbuh subur di china. Insitut Riset Keuangan Internet Shenzhen Qiancheng, menyebutkan volume pinjaman fintech lending di China adalah terbesar di dunia yakni senilai 1,49 triliun yuan atau US$ 217,96 milliar.

Masalahnya, pemerintah China tidak memberlakukan regulasi yang ketat sejak 2011. Padahal, hingga tahun 2015, perusahaan pembiayaan online tumbuh signifikan hingga 3.500.

Permasalahan platform peminjaman digital ini bermula ketika investor menarik dananya secara besar-besaran di perusahaan fintech lending. Akibat hal itu, sejak Juni 2018, ada sekitar 243 platform peminjam online yang berhenti beroperasi menurut wdwj.com, yaitu penyedia data industri P2P lending.

Berbagai protes yang berdatangan, membuat pemerintah memberlakukan peraturan secara ketat, dengan memerintah perusahaan keuangan tersebut memperbaiki kinerjanya sampai batas 30 Juni 2018. Peraturan ketat tersebut membuat banyak perusahaan fintech lending berhenti beroperasi.

Kepala Eksekutif Penyedia Pinjaman Mikro Online Rapid Finance, Zane Wang, mengatakan penutupan perusahaan tersebut menyebabkan kepanikan di pasar. Investor banyak menarik dananya dari perusahaan fintech lending dan menyebabkan likuiditas beberapa perusahaan P2P lending turun.

Reuters melaporkan, pemerintah China sengaja menutupi masalah tersebut, dengan meyakinkan orang-orang bahwa negara China dalam kondisi sehat meskipun perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) telah menyebabkan nilai tukar yuan terhadap dollar AS melemah. Maka tak mengherankan, media China tidak ada yang memberitakan aksi protes investor di ibu kota.

Paska penangkapan pengunjuk rasa pun paranoia pemerintah China tak kunjung reda. Reuters melaporkan ratusan petugas keamanan terus berpatroli di sekitar kantor CBIRC, untuk mengantisipasi akan adanya aksi lanjutan. Pihak CBIRC dan Kementrian Keamanan Publik juga enggan memberikan penjelasan terkait tindakannya tersebut kepada Reuters.

Banyak platform P2P yang memberikan pinjaman kepada pelanggan mungkin dianggap terlalu berisiko bagi bank komersil. Dalam beberapa kasus telah menyebabkan krisis likuiditas, ketika terlalu banyak investor menuntut penarikan dana secara bersamaan. Ada pula kasus yang paling populer, yakni Ezubao yang melakukan penipuan investasi terbesar di China sebesar US$ 7,9 juta, dengan merugikan sebanyak 900.000 investor.

Berdasarkan penelitian Citic Securitas, hingga Juli 2018 ada lebih dari 100 perusahaan yang terdaftar di bursa saham China terlibat dalam kegiatan fintech lending. Dan sekitar 32 perusahaan memiliki 30% saham di perusahaan P2P lending.

China telah memperpanjang waktu selama dua tahun hingga tanggal 30 Juni, untuk membersihkan situs-situs online bermasalah. Tapi bukannya hal ini menenangkan, tetapi lebih banyak menimbulkan ketidakpastian.

Citic Securitas, memperkirakan upaya pembersihan ini, hanya akan membuat 100 dari 1.836 platform dapat memenuhi standar pemerintah dan mendapatkan lisensi. Sedangkan kurang dari 50 platform kemungkinan bisa bertahan hidup.

Para ahli mengatakan perusahaan besar mungkin akan mendapat manfaat dari regulasi yang lebih kuat. Tetapi untuk saat ini, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di industri ini telah mengalami penurunan nilai saham.

Beberapa perusahaan P2P Cina yang terdaftar di AS nilai sahamnya anjlok. Saham China Rapid Finance misalnya, telah kehilangan nilai sahamnya hingga 73% sepanjang tahun ini. Sementara Yirendai nilai sahamnya merosot 71%. PPDai sahamnya telah turun 44% dan Hexindai turun 27%.

Pendiri sekaligus CEO CreditEase dan pemilik mayoritas platform peminjaman P2P Yirendai, Tang Ning mengatakan pada Reuter bahwa dia khawatir bahwa kepanikan di seluruh industri akan meningkat.

Dia mendesak regulator untuk bertindak cepat untuk melindungi perusahaan P2P, sambil mengambil tindak tegas tehadap fintech bermasalah untuk menghindari kerugian keuangan dan ekonomi China yang semakin besar.

“Kalau tidak, ini akan menjadi masalah bagi industri fintech. Sektor usaha kecil akan kehilangan sumber pendanaan yang penting, dan juga bisa berdampak terhadap sistem keuangan dan ekonomi rill,” ujar Tang Ning, dilansir dari Reuters.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×