Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Rizki Caturini
Konsultan bisnis ternama, Ernst & Young LLP (EY) mengumumkan hasil survei terbaru soal negara paling menarik untuk berinvestasi. Survei yang melibatkan 1.700 eksekutif dari 45 negara sebagai narasumber sekitar bulan Agustus-September 2016.
Hasil survei ini kali ini menempatkan Inggris diurutan ketujuh negara terfavorit dimata investor. Pasca keputusan keluar dari keanggotaan Uni Eropa atau yang terkenal dengan sebutan British Exit (Brexit), Inggris tak lagi bercokol dalam lima besar negara terfavorit tempat paling menjanjikan untuk berinvestasi.
Dalam laporan yang dirilis pekan lalu, EY menempatkan AS sebagi negara terfavorit investor. Menyusul China, Jerman, Kanada dan Prancis dalam kelompok lima besar. Posisi selanjutnya ditempati berturut-turut oleh Jepang, Inggris, India, Brasil dan Australia.
Dalam situs resminya, EY menjelaskan bahwa ini untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir, Inggris tidak masuk dalam daftar lima besar. Keputusan Brexit telah menambah permasalahan transaksi internasional.
Padahal, saat ini para pengambil kebijakan di perusahaan-perusahaan ternama dunia sangat konsen terhadap isu-isu geopolitik, seperti kemunculan pemerintahan nasional di seluruh dunia dan gejolak mata uang.
Kedua hal tersebut diakui, menyebabkan aksi merger dan akuisisi lintas negara menjadi lebih sulit. Belum lagi rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS dan pemilihan umum di sejumlah negara yang menambah risiko investasi menjadi semakin besar.
"Brexit adalah contoh paling menonjol dari kemunculan perubahan geopolitik dan menambah kompleksitas investasi lintas batas," tutur Steve Krouskos, Global Vice Chair Transaction Advisory Services Ernst & Young.
Dalam jangka panjang, Krouskos berharap, Inggris akan kembali masuk menjadi pilihan utama investor untuk membenamkan investasi. Namun dalam jangka pendek, investor memang kurang meminati Inggris ketimbang negara besar lainnya.
"Ketidakpastian yang diciptakan oleh Brexit pasti mempengaruhi investasi ke Inggris," ucap Charles Rix, Kepala Hogan Lovells, salah satu firma hukum. Namun ke depan, lanjut Rix, investor pasti akan mempertimbangkan efek pelemahan poundsterling untuk masuk ke Inggris.
Hingga saat ini, tercatat aksi korporasi berupa merger dan akuisisi mencapai US$ 208 miliar di Inggris. Data Bloomberg menyebutkan, angka tersebut turun 55% dibandingkan perolehan tahun 2015. Adapun total aksi merger dan akuisisi di seluruh dunia saat ini tercatat sebanyak US$ 2,2 triliun. Jumlah tersebut turun 20% dari tahun sebelumnya.
Meski terjadi penurunan, hasil survei EY menyebutkan, sebanyak 57% investor tertarik untuk melancarkan merger dan akuisisi dalam 12 bulan ke depan. Setengah dari jumlah tersebut menyatakan berencana melakukan aksi korporasi bernilai antara US$ 250 juta hingga US$ 1 miliar.
Umumnya perusahaan yang memiliki rencana aksi korporasi tersebut bergerak di sektor ritel, industri, life sciences, teknologi, otomotif serta migas