Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memulai kembali uji coba senjata nuklir memicu gelombang kekhawatiran dan kebingungan di Washington.
Pernyataan mengejutkan itu disampaikan Trump melalui media sosial pada Rabu (29/10) malam waktu setempat, hanya beberapa jam sebelum sidang konfirmasi Wakil Laksamana Angkatan Laut AS Richard Correll di hadapan Komite Angkatan Bersenjata Senat, Kamis (30/10/2025).
Correll merupakan calon komandan Komando Strategis AS (STRATCOM) yang bertanggung jawab atas pencegahan dan kemampuan serangan nuklir.
Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat harus “memulai pengujian senjata nuklir” agar tidak tertinggal dari Rusia dan China.
Baca Juga: Trump Perintahkan Pentagon Uji Coba Senjata Nuklir, Dunia Khawatir Perang Dingin Baru
“Rusia berada di posisi kedua, dan China di posisi ketiga, tetapi bisa menyusul dalam lima tahun,” tulis Trump.
Pernyataan tersebut langsung mendominasi sidang konfirmasi Correll. Sejumlah senator dari kedua partai mempertanyakan maksud Trump dan dampaknya terhadap stabilitas global.
Ketua Komite dari Partai Demokrat, Senator Jack Reed, menanyakan apakah dimulainya kembali uji coba nuklir akan memicu perlombaan senjata nuklir baru.
“Jika saya dikonfirmasi, peran saya adalah memberikan nasihat militer terkait arah kebijakan uji coba tersebut,” jawab Correll hati-hati.
Senator independen Angus King kemudian bertanya apakah yang dimaksud Trump adalah uji sistem peluncur seperti rudal, bukan uji ledakan nuklir.
“Saya tidak tahu maksud pasti Presiden, namun interpretasi itu mungkin saja,” ujar Correll.
Baca Juga: Netflix Umumkan Stock Split 10:1, Saham Lebih Terjangkau
Moratorium 33 tahun terancam
Amerika Serikat belum pernah melakukan uji coba ledakan nuklir sejak 1992. Selama ini, Pentagon menjaga kesiapan arsenal nuklir melalui simulasi komputer canggih, bukan melalui ledakan fisik.
Namun pernyataan Trump menimbulkan kekhawatiran akan berakhirnya moratorium 33 tahun tersebut.
“Tidak ada alasan rasional bagi AS untuk kembali melakukan uji coba ledakan nuklir. Langkah itu justru membuat warga AS kurang aman,” ujar Tara Drozdenko, Direktur Program Keamanan Global di Union of Concerned Scientists.
Wakil Presiden JD Vance membela kebijakan itu dengan menyebut uji coba diperlukan untuk memastikan senjata nuklir AS tetap berfungsi dengan baik.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Stabil Kamis (30/10), Menunggu Dampak Gencatan Dagang AS-China
Pesan politik untuk Moskow dan Beijing
Sejumlah analis menilai langkah Trump lebih bersifat politis, untuk mengirim sinyal ketegasan kepada Rusia dan China menjelang pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan.
Dalam unggahannya, Trump menyebut perintah pengujian diberikan agar AS “berada pada posisi setara” dengan kedua negara tersebut.
Rusia belakangan memang melakukan serangkaian uji senjata berdaya nuklir baru. Presiden Vladimir Putin memperingatkan bahwa jika negara lain memulai uji coba nuklir, Moskow juga akan melakukannya.
China, yang tengah memperluas arsenal nuklirnya, menolak ajakan AS untuk melakukan pembicaraan pengendalian senjata, dengan alasan kapasitas nuklirnya masih jauh lebih kecil dibanding AS dan Rusia.
“Jika tujuannya untuk menekan China agar mau bernegosiasi, kemungkinan besar itu tidak akan berhasil,” ujar James Acton, Direktur Program Kebijakan Nuklir di Carnegie Endowment for International Peace.
Baca Juga: Mengapa Harga Emas Capai US$4.000? Ini Dampak Kebijakan The Fed & Perang Dagang
Risiko bagi Amerika sendiri
Yayasan Ploughshares Fund memperingatkan bahwa mengakhiri moratorium justru akan menguntungkan negara pesaing AS karena memberi mereka alasan untuk melakukan hal serupa.
“Kembalinya AS pada uji coba nuklir hanya akan membantu pesaingnya mengejar ketertinggalan dalam riset dan pengembangan senjata,” tulis lembaga tersebut.
Departemen Energi AS diketahui memiliki situs uji coba di Nevada yang secara hukum harus siap digunakan dalam waktu 36 bulan jika dibutuhkan.
Namun senator asal Nevada, Jacky Rosen, menegaskan penolakannya terhadap kemungkinan uji coba di wilayahnya.
“Negara bagian saya sudah cukup menderita akibat uji coba nuklir selama 1951–1992. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi,” tegas Rosen.


/2020/09/15/1866758609.jpg) 
  
  
  
  
  
  
  
  
  
 











