Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Cell Reports Medicine mengungkapkan bahwa frekuensi buang air besar (BAB) memiliki dampak signifikan terhadap fisiologi tubuh dan kesehatan jangka panjang.
Penelitian ini menemukan bahwa buang air besar satu hingga dua kali sehari memberikan hasil kesehatan terbaik. Sebaliknya, ketidakteraturan frekuensi BAB dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit, termasuk infeksi, kondisi neurodegeneratif, peradangan, hingga kerusakan hati.
Studi Terbaru Tentang Frekuensi BAB
Menguitp sciencealert, penelitian yang dipimpin oleh Sean Gibbons dari Institute for Systems Biology ini melibatkan lebih dari 1.400 sukarelawan dewasa sehat yang tidak memiliki tanda-tanda penyakit aktif. Para peserta diminta memberikan sampel plasma darah dan tinja, serta mengisi kuesioner rinci terkait pola makan, kesehatan, dan gaya hidup.
Baca Juga: Rahasia Warna Oranye pada Kucing Akhirnya Terungkap Setelah Pencarian Selama 60 Tahun
Frekuensi BAB yang dilaporkan oleh peserta dikelompokkan menjadi empat kategori:
- Konstipasi: Satu hingga dua kali BAB per minggu.
- Normal rendah: Tiga hingga enam kali BAB per minggu.
- Normal tinggi: Satu hingga tiga kali BAB per hari.
- Diare: Frekuensi BAB yang lebih tinggi dari normal.
Pengumpulan data klinis dan biologis, termasuk mikrobioma usus, kimia darah, serta faktor genetik, digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara frekuensi BAB dan parameter kesehatan.
Temuan Utama Penelitian
Ketika tinja terlalu lama berada di usus, mikroorganisme menghabiskan serat yang tersedia dan mulai memfermentasi protein. Proses ini menghasilkan toksin seperti p-cresol sulfate (PCS) dan indoxyl sulfate (3-IS) yang membebani fungsi ginjal. Bahkan pada individu sehat dengan konstipasi, kadar toksin ini meningkat dalam aliran darah, meningkatkan risiko kerusakan organ.
Sebaliknya, pada individu dengan diare, ditemukan adanya indikasi peradangan dan kerusakan hati. Diare menyebabkan tubuh kehilangan asam empedu dalam jumlah berlebihan, yang seharusnya didaur ulang oleh hati untuk membantu penyerapan lemak dari makanan. Kekurangan asam empedu ini dapat memengaruhi proses metabolisme tubuh secara keseluruhan.
Frekuensi BAB satu hingga dua kali sehari, yang disebut sebagai "zona optimal" atau Goldilocks Zone, dikaitkan dengan tingginya jumlah bakteri usus yang memfermentasi serat, seperti strict anaerobes. Jenis bakteri ini mendukung kesehatan usus secara keseluruhan.
Baca Juga: Kafein, Senjata Tersembunyi untuk Melawan Kecanduan Alkohol
Faktor yang Mempengaruhi Frekuensi BAB
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang lebih muda, perempuan, dan mereka dengan indeks massa tubuh (BMI) lebih rendah cenderung memiliki frekuensi BAB yang lebih sedikit. Perbedaan hormonal dan neurologis antara pria dan wanita, serta konsumsi makanan yang umumnya lebih tinggi pada pria, dapat menjelaskan kesenjangan ini.
Gibbons dan timnya menemukan bahwa konsumsi buah-buahan dan sayuran memiliki pengaruh terbesar dalam menjaga frekuensi BAB yang sehat. Selain itu, hidrasi yang cukup, aktivitas fisik teratur, serta diet berbasis tumbuhan berkontribusi pada kesehatan saluran pencernaan.