Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
Berdasarkan riset pengembangan ekonomi United Nations University World Institute, sebanyak 347,4 juta penduduk Asia Pasific bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan dengan pendapatan US$ 5,5 per hari akibat pandemi. Itu sekitar 2/3 dari estimasinya secara global dan menggarisbawahi proyeksi Bank Dunia adanya peningkatan kemiskinan di dunia untuk pertama kalinya dalam dua dekade.
Besarnya kejatuhan ekonomi di lima negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara sangat parah pada kuartal kedua. Indonesia menyusut 5,3% secara tahunan (year on year/YoY), Malaysia 17,1%, Filipina 16,5%, Singapura 13,3% dan Thailand 12,2%,.
Vietnam akan mengalami penurunan ekonomi selama tiga dekade hampir terhenti tahun ini. Kontraksi dapat bertahan hingga awal tahun depan, kata HSBC Holdings Plc, di tengah layu manufaktur dan kekeringan pariwisata.
Baca Juga: Hong Kong dan Singapura mengumumkan rencana kebijakan travel bubble
Setelah melewati pergolakan politik, krisis keuangan, dan bencana alam, Asia Tenggara tidak asing dengan kemunduran. Namun, tidak seperti peristiwa sebelumnya yang menyebabkan jutaan orang di kawasan ini menjadi pengangguran dan kemiskinan, seperti krisis keuangan Asia dan tsunami Samudra Hindia tahun 2004, tidak ada pasar tenaga kerja atau ekspor lain yang bisa digunakan hingga saat ini.
Itu menandakan tekanan finansial yang berkepanjangan bagi orang Asia Tenggara. Subramaniam dari ADB memperkirakan peningkatan pendapatan dan angka kemiskinan akan membuat pemulihan ekonomi butuh dua hingga tiga tahun. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa jam erja atau setara 48 juta pekerjaan penuh waktu menghilang di Asean pada kuartal II.
Lima negara ekonomi teratas Asia Tenggara masing-masing telah membelanjakan miliaran dolar untuk dukungan pendapatan guna meredam pukulan pandemi. "Terlepas dari upaya tersebut, perlindungan sosial seperti tunjangan pengangguran di seluruh kawasan, tidak termasuk Singapura, tetap seringkali tidak sebaik yang seharusnya.” kata Christian Viegelahn, ekonom ILO.