Sumber: Bloomberg | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Kasus gagal bayar alias default di Asia diramal akan semakin tinggi tahun depan. Melansir Bloomberg, titik panas kasus ini akan terkonsentrasi di China dan India.
Banyak investor yang memprediksi hanya sedikit dana talangan (bailout) yang dikeluarkan oleh pemerintah China mengingat Beijing baru-baru ini membiarkan pedagang komoditas Tewoo Group default dalam gagal bayar terbesar pada obligasi dollar oleh perusahaan milik negara dalam dua dekade terakhir.
Perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut telah melakukan pembelian yang dipicu oleh utang. Faktor-faktor itu dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk pada tahun 2020 setelah gagal bayar di daratan Tiongkok mencapai rekor pada tahun 2019.
Baca Juga: Pemimpin Hong Kong: Masa depan ekonomi kita diliputi ketidakjelasan
Seiring dengan melambatnya ekonomi di Asia, perusahaan dibiarkan rentan terhadap pengetatan likuiditas. Peningkatan default kemungkinan akan lebih membebani sentimen investor, dan meningkatkan biaya pinjaman untuk perusahaan-perusahaan paling berisiko.
Gagal bayar di China kemungkinan akan meningkat baik di pasar obligasi onshore maupun offshore tahun depan di tengah pengetatan pendanaan. Menurut Monica Hsiao, kepala investasi di hedge fund Triada Capital, perusahaan milik negara yang lebih lemah dan kendaraan pembiayaan pemerintah daerah mungkin berisiko tinggi. Perusahaan real estat milik BUMN China, yang secara tradisional dipandang sebagai benteng ekonomi, juga berada dalam posisi rentan.
Baca Juga: China akan pangkas sejumlah tarif impor pada 1 Januari 2020
"Kita tidak boleh berasumsi bahwa sektor properti China kebal jika kondisinya terus mengetat untuk pengembang kecil yang tidak memiliki pemangku kepentingan dengan ikatan politik yang kuat, misalnya," kata Hsiao.
Gelombang akuisisi juga telah mendorong perusahaan dengan neraca yang terlalu besar tersandung masalah. Shandong Ruyi Technology Group Co, yang melakukan serangkaian akuisisi di luar negeri, telah berjuang untuk membayar utang. MMI International Ltd yang berkantor pusat di Singapura, yang telah dijual kepada investor China, telah melewatkan pembayaran pinjaman.
Utang menggunung
Di India, kasus gagal bayar menembus rekor dalam obligasi mata uang lokal dan maupun mata uang asing karena krisis shadow banking telah memicu tekanan kredit. Sementara kepailitan Essar Steel India Ltd telah diselesaikan dengan pengambilalihan bisnis oleh ArcelorMittal, perusahaan lain menghadapi penundaan dalam penjualan aset berdasarkan hukum kebangkrutan India.
"India masih berjuang untuk berurusan dengan gunung utang yang ada, dan belum ada banyak kisah sukses," kata David Kidd, seorang mitra di Linklaters yang berfokus pada masalah restrukturisasi dan kepailitan.
Baca Juga: Hadapi sanksi, Negara Muslim pertimbangkan transaksi perdagangan dengan dinar emas
Di Asia Tenggara, perusahaan minyak dan gas masih terhuyung-huyung akibat harga minyak yang tertekan. Ada "kenaikan" dalam default di Malaysia dan beberapa perusahaan harus merestrukturisasi utang dengan pemberi pinjaman, menurut Kidd.
Tumbuhnya hubungan perdagangan antara China dan negara-negara Asia lainnya juga membuat ekonomi regional lainnya rentan terhadap melemahnya pertumbuhan negara.
"Perlambatan Tiongkok dan potensi gagal bayar di Tiongkok, mungkin itu juga memiliki efek knock-on secara regional," kata Kidd.