kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Kebangkrutan Korporasi Capai US$ 500 Miliar Landa Perekonomian Global


Rabu, 19 Juli 2023 / 13:52 WIB
Kebangkrutan Korporasi Capai US$ 500 Miliar Landa Perekonomian Global
ILUSTRASI. Seseorang mengambil foto sambil melihat ke arah cakrawala Manhattan di Winter Solstice di Brooklyn, New York City, AS, Selasa (21/12/2021). Kebangkrutan Korporasi Capai US$ 500 Miliar Landa Perekonomian Global.


Reporter: Vina Destya | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  NEW YORK. Gelombang kebangkrutan korporasi saat ini tengah terjadi karena era uang mudah telah berakhir, hal ini menggantikan kekhawatiran akan krisis kredit yang mulai mereda.

Richard Cooper sebagai mitra di Cleary Gottlieb yaitu firma hukum terkemuka untuk kebangkrutan perusahaan, telah memberikan saran kepada bisnis di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir terkait apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan ketika mereka menghadapi utang.

Melansir Bloomberg, Richard telah berhasil melewati krisis keuangan global, krisis minyak tahun 2016, dan krisis yang baru-baru ini terjadi akibat pandemi Covid-19. Dan ia harus mengulang kembali kejadian krisis tersebut saat ini.

“Rasanya berbeda dengan siklus-siklus sebelumnya, Anda akan melihat banyak gagal bayar,” ujar Richard dikutip dari Bloomberg, Rabu (19/7).

Baca Juga: Kinerja Sektor Konstruksi Dibayangi Beban Utang, Simak Rekomendasi Sahamnya

Menurut data yang telah dicatat Bloomberg, apa yang telah dilakukan Richard saat ini memberikan gambaran tentang badai utang korporasi senilai lebih dari US$ 500 miliar, dari jumlah ini masih ada kemungkinan untuk terus bertambah.

Hal ini membuat kekhawatiran Wall Street semakin bertambah dengan mengancam perlambatan pertumbuhan ekonomi dan membebani pasar kredit yang baru saja mencoba untuk bangkit dari penurunan yang dialami dalam beberapa dekade terakhir.

Awalnya, masalah dispekulasikan terjadi karena perusahaan-perusahaan yang dirusak oleh kekuatan seperti perubahan teknologi dan munculnya pekerjaan jarak jauh di Hongkong, London, dan San Fransisco.

Tetapi, masalah yang lebih dalam ada pada beban utang yang membengkak selama era uang yang sangat murah. Hal itu menjadi beban yang lebih berat karena bank-bank sentral menaikkan suku bunga dan tampaknya akan dipertahankan lebih lama dari yang telah diperkirakan oleh hampir semua orang di Wall Street.

Karena terkejut dengan inflasi yang melonjak, para pembuat kebijakan secara agresif menguras uang tunai dari sistem keuangan dunia. Dan dengaan sengaja berusaha memperlambat ekonomi mereka dengan menahan aliran kredit ke bisnis. Karena upaya yang cukup agresif ini, beberapa di antaranya akan gagal.

Baca Juga: Prospek Investasi Obligasi 2023 Diperkirakan Cerah, Ini Alasannya

Namun, beberapa kantong kredit korporat terlihat cukup rentan setelah membengkak selama bertahun-tahun dengan suku bunga yang rendah. Ketika salah satu perusahaan goyah pun, dapat dengan mudah meminjam untuk menunda perhitungan.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri, jumlah obligasi yang memiliki imbal hasil tinggi dan pinjaman dengan leverage yang dimiliki oleh bisnis dengan risiko tinggi dan kurang layak kredit meningkat lebih dari dua kali lipat di tahun 2021 dengan total US$ 3 triliun, dibandingkan saat tahun 2008.

Menurut data S&P Global, dalam periode yang sama utang perusahaan non-keuangan Tiongkok melonjak relatif terhadap ukuran ekonomi negara itu sendiri. Sedangkan di Eropa, penjualan obligasi melonjak lebih dari 40% pada tahun 2021.



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×