kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mahathir: Uni Eropa munafik dan menjalankan kolonialisme modern terkait CPO


Senin, 19 Agustus 2019 / 13:13 WIB
Mahathir: Uni Eropa munafik dan menjalankan kolonialisme modern terkait CPO
ILUSTRASI. Mahathir Mohamad


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - KUALA LUMPUR. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berpendapat, pasca Brexit, Inggris memiliki peluang bersejarah untuk melawan kesepakatan perdagangan dengan salah satu kawasan yang memiliki pertumbuhan tercepat di dunia dan membuktikan bahwa hal itu dapat memangkas jalur birokrasi dan proteksionisme Eropa. Kuncinya adalah untuk memikirkan kembali arah kebijakan minyak kelapa sawit (CPO) Uni Eropa yang salah arah. 

Menyegarkan ingatan saja, pada 2017, Parlemen Eropa menyetujui untuk membatasi dan bahkan melarang penggunaan biodiesel yang terbuat dari minyak sawit dari Malaysia dan Indonesia. Pada awal tahun ini, Komisi Eropa juga membatasi tipe biodiesel dari kelapa sawit yang dapat digunakan dalam tujuan energi terbarukan Eropa. 

Baca Juga: Merugikan India, Tarif Impor CPO Malaysia Terancam Naik

"Pelarangan ini dapat memicu perang dagang antara negara-negara produsen CPO," tegas Mahathir dalam kolom opini yang diterbitkan di Bloomberg.  

Dia juga menuliskan, pejabat Uni Eropa membenarkan larangan tersebut dengan alasan lingkungan. Namun, lanjut Mahathir, pada faktanya pelarangan itu dirancang untuk melindungi industri pertanian Uni Eropa. 

"Jika Eropa begitu khawatir tentang dampak lingkungan dari budidaya kelapa sawit, mengapa mereka menandatangani perjanjian perdagangan dengan Amerika Selatan? Sejauh ini, produksi daging sapi di sana menjadi penyebab utama penggundulan hutan (deforestation), mengecilkan fungsi perkebunan kelapa sawit yang mampu menyerap karbon dioksida (CO2)," urai Mahathir.

Baca Juga: Ekspor CPO Malaysia Melonjak, Pemerintah India Gelar Investigasi

Selain itu, lanjut Mahathir, negara-negara Uni Eropa yang memproduksi minyak pesaing CPO seperti kebun rapeseed (canola) juga tidak efisien. Untuk menghasilkan minyak ini, dibutuhkan lebih banyak pupuk dan pestisida. 

Inilah sebabnya mengapa Persatuan Konservasi Alam Internasional baru-baru ini memperingatkan bahwa pelarangan minyak kelapa sawit tidak akan menghentikan deforestasi tetapi malah mengarah pada konsumsi yang lebih besar dari tanah, kedelai, dan bunga matahari yang intensif untuk memenuhi permintaan yang meningkat.

"Tapi jawabannya tidak ada pelarangan sama sekali atas komoditas tersebut. Hal ini akan memungkinkan Uni Eropa untuk menghindari tanggungjawabnya sendiri dalam peningkatan deforestasi melalui konsumsi daging. Di sisi lain, mereka salah dalam menempatkan tanggungjawab utama pada negara-negara berkembang Asia dan mengancam mata pencaharian 650.000 petani kecil Asia," papar Mahathir. 

Dia juga menulis, "Kemunafikan yang dilakukan secara terang-terangan ini merupakan bentuk kolonialisme modern dan seharusnya tidak memiliki tempat di dunia saat ini. Dengan menggunakan perdagangan sebagai senjata, Uni Eropa pada dasarnya mengintimidasi wilayah-wilayah yang lebih miskin di dunia."

Menurut Mahathir, hal ini juga merugikan konsumen Eropa karena harus menanggung harga yang lebih tinggi.  Aksi proteksionisme semacam itu juga telah membangkitkan kemarahan negara-negara maju juga. "AS mengancam untuk memberlakukan pajak impor mobil kepada Uni Eropa jika benua Biru itu tidak membuka marketnya lebih luas lagi bagi petani AS," jelasnya. 

Baca Juga: Malaysia Tidak Akan Memperpanjang Insentif Sertifikasi CPO

Namun, Mahathir menilai, ketika berbicara tentang minyak sawit, yang dibutuhkan adalah dialog dan keterlibatan untuk mencapai solusi bersama termasuk regulasi yang lebih baik dan standar sertifikasi yang lebih kuat. "Inilah sebabnya mengapa Malaysia masih mengulurkan tangan persahabatan ke Uni Eropa dengan harapan hubungan perdagangan yang adil, jujur dan saling timbal balik dapat terwujud," tandasnya.

Pasca Brexit, Inggris akan terbebas dari kebijakan semacam itu. Negara-negara Asia Tenggara saat ini memiliki nilai perdagangan US$ 43 miliar per tahun dengan Inggris. Angka ini terus tumbuh setiap tahunnya. "Adanya penyegaran kebijakan terkait sawit dapat mengarah pada kesepakatan dagang yang lebih baik bagi Inggris," tutup Mahathir.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×